Welcome to Widodo's Blog

Membaca untuk mengambil hikmat
Merenung agar bisa lebih bijak
Memahami supaya tak salah menerima

Laman Utama

Senin, 01 November 2010

Apakah Kebenaran Itu ?





--> Mengenal Kebenaran Allah dan Kebenaran Diri Sendiri
(Yoh 18 :38a)
      Pertanyaan menggantung dari Pilatus pada Yesus itu dinyatakan Pilatus ketika mengadili Yesus setelah diserahkan oleh orang-orang Yahudi. Dia tak menunggu jawaban Yesus. Dia lanjutkan dengan tindakan sendiri yang menurutnya benar untuk ‘menyelamatkan’ Yesus yang tidak didapati olehnya satu kesalahan pun. Dia bertindak demikian seakan-akan dia berkuasa atas diri Yesus dengan menawarkan pilihan untuk ‘membebaskan’ Yesus yang adalah Raja orang Yahudi. Namun ternyata apa yang dilakukannya itu malah ditolak oleh orang-orang Yahudi. Dan mereka lebih memilih Barabas, seorang penyamun. Mereka tidak mau menerima Yesus dan menganggap-Nya sebagai penjahat yang ‘layak’ disalibkan.
      Bagi orang-orang Yahudi, kebenaran Yesus tidak dapat mereka terima dan lebih menerima kebenaran Barabas, seorang penyamun yang nyata-nyata melakukan kejahatan. Kejahatan lebih dapat diterima bagi mereka daripada mengetahui kebenaran dan menerimanya. Yesus telah banyak berbuat baik dan menunjukkan kasih-Nya pada orang-orang Yahudi dengan menyembuhkan orang-orang sakit dan mengusir setan-setan. Dan mereka pun tak dapat menyaksikan bahwa Yesus itu berdosa. “Siapakah diantaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?” Yoh 8:46.  Yesus telah memberikan kesaksian baik melalui perkataan maupun perbuatan-Nya dan apa yang disaksikan itu adalah kebenaran. Orang-orang yang menerima-Nya adalah orang-orang yang mau menerima kebenaran yang disaksikan-Nya itu. Menerima adalah kata kunci untuk percaya. Dengan menerima, kita mendapatkan apa yang diberikan oleh Yesus. Jika Yesus adalah Raja yang menyaksikan kebenaran (Yoh18:37) maka apa yang kita terima adalah kuasa. Kuasa untuk apa? Kuasa untuk hidup dalam kebenaran itu. Hidup dalam kebenaran-Nya itu mendengarkan suara Yesus yang berarti juga menuruti-Nya. Bila tidak maka firman-Nya itu yang akan menjadi hakim-Nya (Yoh 12:46-48).
      Raja menunjukkan yang berkuasa. Dan pengikutnya adalah yang menerima kuasa. Kuasa itu dinyatakan dengan perantara kata-kata atau perintah. Siapa yang mendengarkan kata-kata raja dan melakukannya berarti dia telah ‘dirajai’ oleh raja itu. Siapakah yang kita dengarkan akan menentukan sikap dan keputusan hidup kita? Apa yang kita dengarkan? Bagaimana kita mendengarkannya? Semua itu akan menetukan hakekat diri kita sebenarnya.
      Mari lihat bagaimana Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Awalnya, Iblis –yang menyatakan diri sebagai ular- menyaksikan kepalsuan yaitu pemutarbalikkan kebenaran firman Tuhan.  Firman Tuhan dalam Kej 2 : 16b telah nyata : “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,..” tapi ular itu memutarbalikkan dengan berkata : “Tentulah Allah berfirman : Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Kej 3 : 1 b. Pendusta. Bapa segala dusta adalah Iblis (Yoh 8 : 44). Nah kesalahan pertama Hawa waktu itu adalah mendengarkan perkataan itu dan menanggapinya tanpa pertimbangan suaminya. Dia terperangkap untuk ikut mengaburkan dan menambahkan kata “meraba” ketika semakin dibujuk oleh ular itu. Hawa melihat, memikirkan dan mengamini apa yang dikatakan oleh ular itu sehingga bertindak sendiri -tanpa pertimbangan Adam, suaminya- untuk mengambil dan memakan buah terlarang itu. Dan bukan berhenti menjadi pengikut ular itu tapi juga memberikan buah itu pada suaminya untuk malakukannya juga. Menerima dan memberikan kepada orang lain. Itulah artinya menyerahkan diri pada kuasa Iblis untuk bertindak dosa –melawan hukum Tuhan. Semenjak itu Iblis berkuasa terhadap manusia karena mereka mendengarkan suara Iblus dan melakukannya, bukan menolaknya. Iblis ‘merajai’ manusia.
      Kalau Iblis ‘merajai’ manusia berarti apa yang dinyatakan Iblis itulah yang didengarkan oleh manusia. Iblis selalu menyatakan kepalsuan maka kepalsuanlah yang dimiliki oleh manusia berdosa. Penerimaan terhadap kepalsuan inilah yang membuat manusia berdosa tidak dapat menerima kebenaran. Karena keduanya bertentangan. Kepalsuan hanya memunculkan kebenaran diri sendiri bukan kebenaran Allah. Kebenaran Allah menyatakan hidup didalam-Nya dan dalam pengaturan-Nya.  Sedangkan kebenaran diri sendiri menyatakan kebebasan tak bertanggung jawab hanya menuruti kemauan, ukuran dan pemahaman sendiri. Kebenaran diri sendiri dinyatakan oleh Adam dan Hawa dalam menyikapi keadaan dirinya setelah tahu mereka telanjang. Mereka menutupi ketelanjangan mereka itu dengan hanya menyematkan daun pohon ara dan membuatnya cawat (Kej 3 : 7). Ini membuktikan kebodohan manusia berdosa. Mereka mengatasi masalah dengan pemahaman mereka sendiri. Tanpa tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu tidaklah sempurna. Bila daun pohon ara dijadikan cawat maka funsinya hanya sementara karena cepat rusak. Mereka harus membuatnya kembali. Berarti tak sempurna. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Allah dengan membuat pakaian dari kulit binatang yang lebih awet dan sempurna menutupi ketelanjangan tubuh mereka tak sekedar hanya menutupi kemaluan mereka. Meskipun untuk itu, Allah harus menumpahkan darah binatang itu. Inilah makna penebusan sesungguhnya. Perlu penumpahan darah.
      Dalam penebusan, Allah melakukan dengan sempurna – didalam Kristus Yesus. Sedangkan manusia mencari jalannya sendiri untuk menebus dosa mereka. Banyak hal yang mereka lakukan dengan cara mengandalkan ritual, tata cara ibadah, hukum ini dan itu serta aturan penyucian diri yang hanya nampak luarnya tanapa bisa menyelesaikan masalah sesungguhnya yaitu pemberontakan terhadap pemerintahan Allah. Bersikap mampu mengatasi segala sesuatu sendiri adalah bukti keberdosaan manusia. Egois. Begitu banyak orang merasa dirinya saleh dan benar sehingga tak memerlukan penebusan. Menolak karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Mereka lebih mendengarkan suara hati mereka dan suara Iblis dalam menjalankan kehidupan ini.
      Padahal dengan pemberontakan itu, manusia menjadi takut dekat dengan Allah dan bersembunyi. Rasa bersalah membelenggu mereka. Mereka membela diri dengan mengesampingkan tanggung jawab atas keputusan yang mereka ambil dengan melemparkan kesalahan pada orang lain dan yang membujuknya. Rasa bersalah –yang tidak diatasi- akan menjebak manusia untuk ‘menutupi’ dosa dengan dosa yang lain. Tanapa penyelesain berarti dan tuntas. Tidak ada kebenaran dalam rasa bersalah yang melumpuhkan itu. Keinginan untuk merasa diri benar diwujudkan dengan menyatakan kesalahan orang lain dan bukannya mengakui kesalahan diri sendiri. Inipun bukanlah kebenaran Allah. Allah tidak menghendaki hal itu karenanya Ia menghukum manusia yang berdosa itu supaya manyadari kesalahan-kesalahannya. Hukuman Allah pun dihubungkan dengan apa yang telah mereka lakukan itu.
      Ketika mereka menerima dengan mudahnya dan menyerah atas bujukan Iblis, maka hukuman manusia adalah kesulitan dan kesukaran (Kej 3 : 16-19). Penderitaan akibat dosa terjadi karena manusia tidak sanggup menolak kepalsuan yang ditawarkan Iblis, malah menerimanya dan menjadi hamba dosa. Seorang hamba harus melakukan kemauan tuannya. Jika tuannya yang suka akan kepalsuan maka hamba-hambanya pun dituntut melakukan hal yang sama. Itulah kenapa, Iblis selalu menawarkan pada manusia jalan ynag mudah dan malah menuju ke kebinasaan. Dan jalan Yesus, sang mesias adalah jalan salib (jalan sempit). Jalan salib telah dilakukan-Nya sebagai bagian untuk penebusan manusaia dalam keberdosaannya dengan menanggung akibat dari dosa-dosanya itu.
Nah, kebenaran Allah dalam Kristus Yesus itulah yang ditawarkan pada kita untuk kita percayai. Kita terima. Dengan ketaatan penuh,Yesus mau dan rela menanggung derita demi kehendak Bapa, Allah-Nya, untuk mengatasi pemberontakan kita terhadap Allah dan itu hanya Dia saja yang sanggup melakukan dengan sempurna sebab dia Anak Allah. Kesanggupan_nya menanggung salib untuk menebus dosa kita menyadarkan kita akan kemampuan-Nya untuk bisa hidup bagi Allah karena setelah Dia mati di atas kayu salib, Dia bangkit membuktikan pembenaran diri-Nya di hadapan Allah.
Jadi barangsiapa yang percaya Yesus berarti menerima-Nya. Menerima diri-Nya. Nah bagi yang menerima-Nya “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya”. Yoh 1:12. Penerimaan diri Yesus juga berarti menerima kuasa-Nya. Yesus yang sanggup mengatasi dosa dan pencobaan memberikan kuasa yang sama itu bagi mereka yang menerima-Nya. Itulah makna kebenaran Kristus. Darah Kristus bukan saja menebus manusia berdosa dari murka Allah tapi juga berkuasa untuk memampukan orang yang menerima-Nya hidup dalam kebenaran. Ini yang tidak dimiliki oleh mereka yang percaya pada agama lain. Darah Kristus itu oleh urapan Roh Kudus memberi daya bagi orang-orang yang menerima-Nya untuk hidup baru. Tidak lagi menuruti dan mendengarkan si jahat dengan segala kepalsuannya tapi hidup bagi Allah. ...setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku. Yoh 18:37c.
Apakah kebenaran itu? Pertanyaan Pilatus itu seperti pertanyaan kebanyakan orang. Kebenaran seperti apa yang harus didengarkan? Kesangsian akan kebenaran yang dinyatakan oleh Allah sendiri melalui Anak-Nya dikarenakan masih ada selubung yang menutupi mata hati mereka. Dengan adanya selubung itu, mereka terhalang untuk melihat kebenaran. Tanpa disingkapkan maka orang tak akan percaya dan menerima kebenaran. Seringkali kita putus asa terhadap orang-orang yang menentang Injil dan kebenarannya. Bagaimana mereka yang telah nyata-nyata menerima pemberitaan Injil dan kebenarannya itu tak mau percaya? Malah menentangnya. Hal itu karena selubung yang menutupi mata mereka. Selubung itu berupa ilah-ilah zaman ini. “Tetapi apabila hati seorang berbalik kepada Tuhan maka selubung itu diambil daripadnya.” 2 Kor 3 : 16.
Hanya Roh Kudus yang sanggup membukakan selubung itu. Roh kudus adalah Roh kebenaran bertentangan dengan roh antikristus yang menyesatkan. Barangsiapa yang mendengarkan Roh Kudus, ia percaya akan karya penyelamatan Yesus Kristus diatas kayu salib untuk menebus dosa kita. Dan hanya oleh Roh Kuduslah, kita mengaku Yesus itu Tuhan (1 Kor 12:3). Itulah kasih karunia dimana semua karena Allahlah yang bekerja di dalam kita untuk menyelamatkna kita. Bukan berdasarkan kebenaran diri sendiri. Oleh karena itu, apabila kita menghendaki orang diselamatkan dan menerima kebenaran-Nya maka kita harus berdoa pada Allah yang sanggup menyelamatkan orang-orang tersesat dalam dosa. Tanpa itu, sia-sialah kita berusaha menyatakan dengan segala pemahaman dan pengetahuan tentang Injil Kristus (Bandingkan dengan 1 Kor 2:21).
Pekerjaan Iblis menentang manusia untuk menerima kebenaran. Karena kebenaran itu memerdekakan mereka (bandingkan dengan Yoh 8 : 32). Kesanggupan kita menolak bujuk rayu / hasutan Iblis untuk menentang pemerintahan Allah karena pengendalian diri yang juga adalah buah Roh. Kita tidak boleh tunduk kepada Iblis tapi tunduk kepada Allah. Bila kita tahu apa itu kebenaran maka kita pun akan tahu bagaimana sifat kepalsuan itu. Karena kepalsuan itu selalu bertolak belakang dengan kebenaran. Lihat apa yang ditawarkan Iblis selalu bertentangan dengan Firman Allah. Pelacuran / percabulan bertentangan dengan penyerahan diri / penebusan. Melacur itu berarti menjual diri sedangkan penebusan itu berarti telah dibeli dan dibayar lunas. Hawa nafsu duniawi bertentangan dengan jalan salib penderitaan Kristus. Jadi kita tak perlu mempelajari seluk-beluk Iblis untuk dapat mengetahui kejahatan itu tapi cukup dengan mengenal kebenaran itu sendiri maka kita akan tahu seperti apa si jahat itu dan segala perbuatannya. Karena mereka bertentangan.
Karena itu bagaimana kita akan bisa hidup dalam kebenaran? Kita harus mau dipimpin oleh Roh Kudus. Dengan pimpinan Roh Kudus, kita akan menghasilkan buah Roh yang nyata dan memapukan kita untuk menolak segala tipu daya Iblis. Roh jahat yang mengendalikan diri seseorang akan senantiasa merusak dirinya dan hidupnya. Mencuri apa yang Tuhan karuniakan padanya, membunuh pikiran, perasaan dan kehendak untuk melakukan perbuatan baik serta membinasakan jiwanya karena menerima hukuman yang akan datang. Seringkali proses penginjilan disertai dengan pengusiran setan-setan. Hal itu untuk mempersiapkan jalan bagi Roh Kudus membuka hati sesorang untuk percaya pada Kristus Tuhan. Dalam Kitab Injil Markus, malahan penginjilan dan pengusiran setan senantiasa beriringan dan dinyatakan sebagai apa yang Tuhan Yesus lakukan. Pemahamannya adalah ketika kebenaran itu datang maka yang palsu itu akan menyingkir. Bahkan dalam Injil Markus, Tuhan Yesus menolak kesaksian roh-roh jahat tentang diri-Nya dan memperintahkan mereka diam (Mark 1:24-25 ; 5:7-8). Tuhan Yesus tidak mau membiarkan pengakuan roh-roh jahat itu sebagai dasar iman orang percaya pada-Nya. Meskipun roh-roh jahat itu tahu siapa sebenarnya Yesus, Anak Allah. Kepalsuan tidak akan mungkin menjadi dasar bagi kesaksian kebenaran.
Inilah kenapa Rasul Yohanes mengingatkan kita untuk hidup dalam terang bukan di dalam kegelapan. Maksudnya kita hidup dalam pengakuan diri, terus terang, keterbukaan dan tidak ada yang ditutup-tutupi di hadapan Allah. Karena memang tak ada yang mungkin di sembunyikan dihadapan-Nya. Pengakuan kita akan keadaan kita yang berdosa menjadi dasar untuk kita bisa menerima pengampunan yang diberikan Allah dalam Yesus Kristus. Tanpa itu, kita berdusta baik terhadap diri sendiri maupun terhadap Allah. Bila kita berdusta maka kebenaran tak ada di dalam kita. Demikian juga dengan pengakuan itu pula hendak menyatakan sungguh Yesus mati dan kita menerima-Nya. Oleh karena itu, pemberitaan Injil senantiasa akan menantang orang yang mendengarnya untuk mengakui keberdosaan dirinya dan membawa orang itu pada pertobatan. Sebab Allahlah yang dalam Yesus Kristus yang sanggup menyucikan orang itu dari segala dosa dan kejahatan (1 Yoh 1:5-10).
Kebenaran inilah yang harus menjadi bagian hidup kita. Prinsip pengakuan dosa ini(Yak 5:16) berlawanan dengan apa yang telah dilakukan Adam dan Hawa. Setalah mereka mengetahui telanjang –menyadari keadaan berdosa- mereka malah sembunyi dan menyangkal kesalahn yang mereka perbuat dengan tidak mau mengakuinya. Kristus datang membawa kebenaran. Bila kita menerima-Nya, kita pun menerima kebenaran sebagai bagian kita. Jadi, pertobatan didasarkan pada pengakuan bahwa Allah telah menyucikan kita dari segala dosa dan kejahatan bukan berdasarkan kemauan / kehendak serta usaha orang untuk menebus dirinya sendiri dengan segala perbuatan baik dana amalan. Penebusan telah dilakukan Allah dan kita diminta menerima dan mengakuinya.
Kebenaran itu akan memerdekakan kita dari rasa takut akan penghukuman yang akan datang karena Yesus Kristus sendiri telah menanggung hukuman atas dosa-dosa kita. Kebenaran itu memerdekakan kita dari rasa cemas akan kehidupan masa depan sebab Yesus telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selamanya serta senantiasa jadi perantara kita. Dia telah menyelamatkan kita maka kita akan diselamatkan-Nya lagi. Dia sanggup karena Dia berkuasa. Setelah Dia bangkit, segala kuasa di bumi dan di sorga ada di tangan-Nya (Mat 28:18). Itu berarti manusia yang telah ‘dirajai’ oleh Iblis semenjak Adam menyerah kalah pada tipu dayanya dibebaskan oleh Kristus. Segala kuasa di bumi ada di tangan-Nya itu berarti Iblis telah dikalahkan. Kejahatannya dipatahkan kuasanya. Kegelapan disingkapkan oleh terang kebangkitan Kristus.
Sekarang ini yang terjadi adalah peperangan antara kebenaran Kristus yang menang dengan kepalsuan Iblis yang berusaha terus membuat manusia jatuh lagi ke dalam dosa. Peperangan ini telah dimenangkan oelh Kristus dan akan dimenangkan-Nya lagi. Bagi orang-orang percaya, kita telah lebih daripada pemenang karena kemenangan Kristuslah yang dianugerahkan pada kita (Rom 8:37). Cara pandang ini akan membawa kita pada kehidupan berkemenangan. Tidak takut lagi pada si jahat dan digentarkan oleh kuasanya. Mereka telah kalah. Masakan kita menyerah pada roh-roh yang lemah itu? Bila mereka seakan-akan berkuasa maka kita tahu kuasanya itu terbatas dan tidak untuk selamanya. Itu penghiburan kita akan peperangan melawan kejahatan. Kejahatan telah dikalahkan oleh kebaikan Kristus dan akan dikalahkan lagi. Tinggal kita mau menjadi bagian yang mana? Mau jadi hamba kebenaran atau hamba kejahatan?

Septa Widodo Munadi, Godong (30 Oktober 2010 ;07.00)

Rabu, 13 Oktober 2010

Turunlah dari Salib itu! (Menghadapi Tekanan dalam Penderitaan)


Orang-orang yang lewat disana menghujat Dia dan sambil menggelengkan kepala, mereka berkata : “Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam 3 hari, selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” (Matius 27 : 39 – 40)
Perkataan hujat itu ditujukan pada Yesus yang tergantung di atas kayu salib. Yesus bergeming. Tidak menjawab. Diam. Mereka menyangsikan Dia, Dia menolak untuk berdebat. Mereka menuntut tanda Dia tak memberikannya. Bisakah Dia turun dari salib itu? Sangat bisa. Dia Tuhan. Dia berkuasa. Tapi kenapa Dia tak melakukannya?
Kata-kata hujat itu sebanding dengan kata-kata cobaan yang dilontarkan Iblis terhadap Yesus ketika pencobaan di padang gurun,”Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis : Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.” Yesus berkata kepadanya : Ada pula tertulis : Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” Mat 4 : 6–7. Penafsiran akan firman Tuhan yang dipaksakan akan menjerumuskan seseorang pada pemutarbalikkan kebenaran seperti yang pernah diingatkan oleh Rasul Petrus (2 Pet 3 : 15-16). Kebenaran firman Tuhanlah yang kita turuti bukan kebenaran kita yang kita cari pembenarannya di Alkitab. Mereka tahu tentang firman Tuhan – yaitu apa yang dikatakan-Nya - tapi pengetahuan itu mereka pakai untuk menyangsikan Tuhan sendiri. Mereka meragukan kekuasaan Allah. Yang mereka pikirkan adalah hanya kepuasan intelektualitas semata. Bahwa segala sesuatu harus dibuktikan menurut kebenaran menurut ukuran mereka. Mereka menarik Allah untuk memenuhi hasrat ketidakpercayaan atas apapun tanpa bukti. Mereka butuh tanda.
Aneh. Tapi mungkin itu bisa jadi menjadi tuntutan kita. Seperti orang-orang yang tak percaya Tuhan Yesus, seringkali kita menuntut tanda kekuasaan Allah dalam hidup kita ketika kita berada dalam penderitaan. Dan malah seperti orang Yahudi yang mengolok-olok Dia yang berkata :”... Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya.” Mat 27 : 42b. Kita minta sesegera mungkin untuk mendapat kelepasan dari penderitaan barulah kita mau percaya pada-Nya. Sepicik itukah kita?
Rasul Paulus menyatakan dalam 1 Kor 1:22-23 : “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan : untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang Yunani suatu kebodohan.” Ketidakmampuan orang-orang Yahudi untuk percaya pada Yesus sebagai Tuhan dikarenakan mereka menuntut tanda sebagai prasyarat untuk mereka bisa percaya pada Dia yang disalibkan itu. Bagi mereka, mana mungkin Mesias yang dijanjikan itu menderita di atas kayu salib? Seakan-akan tak berdaya di dalam penderitaan. Lemah. Tak berdaya dipaku kaki dan tangan-Nya. Tergantung.
Kristus yang disalibkan. Itu menjadi pokok pengajaran Rasul Paulus (1 Kor 2 : 1-2). Mengapa malah salib yang adalah hukuman paling berat bagi orang yang melakukan kejahatan? Berat, karena sebelum dihukum mati harus menerima cabukan dan menanggung sakit dipaku tangan dan kaki lalu menahan penderitaan tak terkirakan dia atas kayu salib. Sakit yang bukan main (Maz 22 : 15-16). Salib menjadi lambang penderitaan. Salib melambangkan kematian. Kok, salib? Kenapa lebih enak menekankan pada pengajaran jikalau Tuhan Yesus sanggup menyembuhkan orang-orang sakit, melakukan mukjijat dan lain-lain yang membuat orang takjub dan tertarik untuk percaya pada-Nya? Tapi malah Mesias yang disalibkan? Mesias yang menderita?
Mesias yang menderita itulah yang dia sebut sebagai kekuatan Allah dan hikmat Allah (1 Kor 1:24b). Sebuah paradoks. Dia yang diurapi, yang dijanjikan akan membebaskan malah menderita. Coba tanyakan pandangan dunia? Mereka akan memandang aneh. Mereka pikir yang sukses, makmur dan tidak mengalami penderitaan adalah orang yang diberkati. Orang kuat berarti berkuasa. Orang kuat berarti bebas berbuat sesuka hati, tanpa kontrol, tanpa kendali dan puas mengumbar hawa nafsu. Seperti Jim Bakker –mantan penginjil Teologi Sukses- berkata :”Banyak orang percaya bahwa bukti berkat Allah atas mereka adalah mobil baru, rumah baru, pekerjaan baru, dan sebagainya. Jika itu yang dicari maka pemilik kasino, gembong obat-obat terlarang, dan para bintang film diberkati Allah.... Jika Anda menyimak Firman Tuhan dengan seksama, anda tidak akan menyamakan materi sebagai tanda berkat Allah.
Rasul Paulus berkata : “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Kol 5:24). Penyaliban Yesus adalah penyaliban daging. Hawa nafsu dan keinginannya disalibkan juga. Dikendalikan di bawah kehendak Allah. Hawa nafsu manusia masih ada. Keinginan manusia masih banyak. Tapi itu semua diserahkan pada ketetapan Allah. Tidak diumbar. Tidak dibiarkan menguasai hati manusia. Hawa nafsu dan keinginan adalah bagian yang tak terpisahkan pada diri manusia. Dengan hal itu, manusia ingin meraih sesuatu. Bila ternyata apa yang diraihnya itu dikekang apa rasanya? Sakit. Menderita. Pengendalian diri dan penguasaan diri oleh kuasa Roh Kudus akan memampukan kita untuk bisa menyalibkan daging karena hal itupun telah dikerjakan oleh Yesus Kristus sendiri. Kita yang percaya pada-Nya dimampukan untuk melakukan hal itu yaitu ikut menderita bersama Dia dan menanggung kehinaan-Nya (Ibr 13:13b).
Jadi sebagai orang Kristen, kita niscaya untuk menderita bersama Kristus. Bila ternyata penderitaan itu menimpa kita, itu adalah sebuah keniscayaan kita sebagai orang yang percaya pada Kristus yang disalibkan. Dengan memandang Kristus yang disalibkan itu, iman kita mengarah pada Allah yang sanggup menyelamatkan kita dari penderitaan yang sedang kita tanggung. Dia tak akan membiarkan kita sendirian menanggung semua itu. Anak-Nya telah mati bagi kita. Dia menggantikan kita yang harusnya mati tergantung di salib karena dosa-dosa kita. Kini, Dia duduk di sebelah kanan Allah malah menjadi pengantara kita pada Bapa. Inilah kasih karunia itu, dimana Dia yang harusnya menghukum kita menjadi ganti kita. Menanggung dosa-dosa kita.
Itulah kenapa Dia yang disalibkan tidak turun sebab dengan tetap tergantung di atas kayu salib itu, Dia menanggung dosa-dosa kita. Dia harus mati. Supaya sempurna penyelamatan-Nya atas diri kita. Lihat, Dia tak turun dari salib berarti di dalam penderitaan itu kuasa Allah malah menjadi sempurna. Bukan demi memuaskan dan menuruti hawa nafsu dan keinginan orang-orang fasik. Mereka hanya ingin memuaskan hasrat untuk melihat keajaiban dengan alasan supaya mereka dapat percaya. Hati mereka telah begitu keras untuk percaya. Tumpul dan tak memahami arti pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Oleh karena itu, pemberitaan Injil hendaknya tidak diletakkan pada ukuran manusia, kemauan manusia untuk melihat keajaiban ( 1 Kor 2 : 4 – 5). Tapi terletak pada belas kasihan Allah pad orang-orang berdosa yang karenanya Anak-Nya harus mati. Kristus yang disalibkan itulah yang harusnya diberitakan dalam Injil yang benar.
Kalau kita terjebak pada keinginan keajaiban semata, maka para penyihir atau pesulap yang jago menyajikan keajaiban itu akan lebih menarik orang daripada atas apa yang dikerjakan Yesus di atas kayu salib. Yesus yang berulangkali melakukan tanda mukjijat yang menyertai pelayanan-Nya ternyata menunjukkan Injil yang sesungguhnya di atas kayu salib itu dengan menanggung sakit menderita. Tanpa mukjijat. Tanpa keajaiban. Mati tersalib. Dia tahu penderitaan di atas kayu salib itu harus Dia tanggung (Mark 10 : 33 – 34). Namun demikian, Dia tak bergeming. Cawan penderitaan itu harus diminum-Nya. Sebagai manusia, -sama seperti kita juga- Dia begitu takut dan gentar menghadapi itu semua (Mark 14 : 33). Pergumulan doa yang begitu hebat di taman Getsemani itu menyadarkan hati kita bahwa sungguh pahit apa yang ditanggung Yesus di salib itu. Dosa-dosa kitalah yang ditanggung-Nya dan akibat dosa adalah maut. Kengerian kematian itu menekan begitu hebat-Nya. Ia harus terpisah dari Bapa-Nya, Allah-Nya. Namun apa yang terjadi pada Yesus? Dia tahu tak ada yang mustahil bagi Allah, Bapa-Nya (Mark 14 : 36) namun Dia tunduk pada kehendak Bapa. Bapa menghendaki Anak harus mati tersalibkan sebagai tebusan dosa-dosa manusia. Allah bisa saja melepaskan-Nya dari derita salib itu. Tapi bukan itu jalan-Nya. Jalan saliblah yang dipilih-Nya. Jalan penderitaan menuju kemuliaan. Itulah keselamtan yang dianugerahkan bagi kita. Karena itu kita pun jangan menjadi terperosok seakan-akan lebih tahu akan penderitaan yang menimpa seseorang. Dan malah berpikir seperti Petrus yang mencegah Yesus melalui jalan salib itu (Mat 16 : 22 – 23). Petrus hanya memikirkan yang dipikirkan manusia semata. Karena memang jalan salib adalah kehendak Allah bagi manusia.
Orang-orang Yahudi menantang Yesus katanya: “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami bahwa Engkau berhak bertindak demikian?” Jawab Yesus kepada mereka : “ Rombak Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Yoh 2:18-19. Yesus menyatakan hal itu untuk menegaskan tanda kemuliaan Allah dengan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Namun mereka tidak mengerti. Mereka hanya berpikir bait Allah secara kasat mata tapi yang dimaksud Yesus adalah tubuh-Nya. Ada pembebasan dan kelegaan setelah penderitaan yang harus kita jalani dalam kehendak Allah (1 Pet 2:19-21). Itulah harapan bagi orang-orang yang menderita karena Kristus. Tapi seringkali kita tak mau bersabar seperti orang-orang Yahudi yang membandingkan perkataan Yesus itu (yang merujuk pada kebangkitan-Nya) diminta oleh mereka pada saat Yesus disalibkan. Penderitaan disalib haruslah dialami dulu supaya sempurna keselamatan (Ibr 10 :10). Ketidaksabaran menanggung sesuatu menandakan ketiadaan kasih (Bandingkan dengan 1 Kor 13 :7). Keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup dibiarkan menguasai hati (1 Yoh 2 : 15 – 17). Tidak mau menyangkali diri.
Seperti waktu jeda yang seringkali kita alami ketika menghadapi masalah. Sabtu sunyi. Apakah kita akan secepat mungkin menggerutu pada Allah? Membandingkan dengan apa yang telah dialami oleh orang lain? Atau malah membandingkan dengan kenikmatan yang malah dirasakan oleh orang-orang jahat yang sekan-akan tak merasakan hukuman Allah terhadap perbuatan mereka? Untuk apa aku menjaga hatiku tetap bersih? Mungkin jerit hati kita (Bandingkan dengan Maz 73 : 13). Waktu jeda berarti tidak terjadi apa-apa ketika kita harus menderita. Ketika sakit belum disembuhkan. Ketika mengalami kegagalan belum juga bisa bangkit dan pulih. Ketika dihina, dilecehkan, dikucilkan dan dicemooh tidak ada yang membela malah semua orang yang sebelumnya jadi teman dan sahabat berbalik ikut merendahkan kita. Belum ada kelepasan. Tidak terjadi apa-apa. Doa kita seakan menguap begitu saja. Seakan Allah tak mau mendengar. Jeritan yang diwakili oleh Yesus di atas kayu salib : “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani? Yang berarti : Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mark 16 :34b).
Ada dua sikap orang ketika berhadapan dengan penderitaan. Pertama dia hadapi dengan kesabaran dan kesadaran penuh bahwa penderitaan itu sebagai bagian kehidupan di dunia ini dengan tetap berharap akan memperoleh kelepasan. Kedua, menghindari penderitaan dengan mencari aman dan kenyamanan semu dan sejauh mungkin tidak merasakan penderitaan itu dengan cara memanipulasi rasa sakit akan penderitaan itu. Cara manipulasi bisa dengan cara penyalahgunaan obat-obatan terlarang, minum minuman keras, pelampiasan seks menyimpang dan bisa jadi larut pada hobi yang jadi candu. Menekan rasa sakit itu. Coba tanyakan pada seseorang yang kecanduan sesuatu? Bila kita belajar dari teladan Yesus di atas kayu salib kita akan tahu kalau Dia menolak meminum anggur bercampur mur –yang biasanya dipakai orang untuk mengurangi rasa sakit (Mark 15:23). Oleh karena itu, mengapa obat bius dan lain-lain yang disalahgunakan untuk menekan rasa sakit tak ada artinya bila kita memahami kalau kita harus menanggung penderitaan itu sebagai kehendak Allah bagi kita. Bila Yesus telah bangkit dari antara orang mati, itu berarti kita yang percaya kepada-Nya akan dibangkitkan pula bersama-sama dengan Dia. Jadi akan ada kelepasan setelah penderitaan. Kalau begitu kenapa harus takut untuk menderita? Bila Allah beserta kita, Dia takkan biarkan kita sendirian menanggung semua itu (Ibr 13 :5-6).
Nah itulah maknanya Injil Kristus yang mulia itu. Ada kasih yang lemah lembut. Kekuatan Allah dinyatakan tatkala tidak ada balas dendam atau pembalasan atas apa yang menimpa kita. “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, ia tak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah sembuh.” (1 Pet 2 : 23-24). Ayat tersebut sering dipakai untuk mengajarkan tentang kesembuhan ilahi yang menjadi hak setiap hak orang percaya. Apakah demikian maksudnya? Bila kita tilik konteksnya, maka Rasul Petrus tak mengisyaratkan akan penyembuhan ilahi tapi bicara tentang dosa. Coba kita bandingkan dengan makna bilur-bilur itu pada Amsal 20:30 “Bilur-bilur yang berdarah membersihkan kejahatan dan pukulan membersihkan lubuk hati.” Jadi, bilur-bilur itu menunjukkan tanggungan yang harus diterima karena kejahatan. Yesus yang adalah Orang benar harus menanggung kejahatan kita dengan memikulnya di atas kayu salib.
...Oleh bilur-bilur-Nya, itu berarti Dia sakit, menderita, disesah dan disalibkan. Dia yang benar harus menanggung sakit yang harusnya diterima oleh orang berdosa. Dia terima itu tanpa melawan. Perlawanan dilakukan-Nya dengan menunjukkan kasih kepada orang yang telah menyalibkan-Nya dan tidak membalas apa yang mereka lakukan itu. Itulah kekuatan Allah. Bagaimana Allah menunjukkan kuasa-Nya ketika dalam penguasaan diri yang sempurna pada diri Yesus yang disalibkan itu. Dia tak terpengaruhi untuk menunjukkan ego sendiri seperti yang ditantang oleh orang-orang Yahudi yang mencibir-Nya untuk turun dari salib. Keegoisan turut disalibkan. Kemenangan terjadi malahan ketika diri sendiri ditaklukkan pada pengaturan kehendak Allah.
Alih-alih memikirkan diri sednri, Yesus malah mendoakan mereka yang menyalibkan-Nya : “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”(Luk 23:34a). Dan memikirkan kesejahteraan Ibu-Nya dan murid-murid-Nya (Yoh 19:26-27). Seperti juga Ayub. Dia memperoleh kelepasan dari penderitaannya itu setelah dia berdoa untuk sahabat-sahabatnya yang salah mengartikan maksud Allah atas penderitaannya. Ayub belajar untuk tidak egois dan jatuh pada mengasihi diri sendiri ketika berada dalam penderitaan yang dia tanggung (Ay 42 :10). Sahabat-sahabatnya yang awalnya bersimpati malah terjebak untuk memberikan ceramah rohani tentang makna penderitaan itu. Mereka seakan-akan lebih memahami rencana Allah bagi Ayub ketika penderitaan itu menimpanya. Mereka menghakimi dan menyuruh Ayub mengaku salah atas perbuatan-perbuatan yang mungkin saja dia lakukan sehingga ia menggalami penderitaan sedemikian berat itu.
Seperti sahabat-sahabat Ayub, kita seringkali merasa bisa berempati dengan orang yang sedang mengalami penderitaan apabila bisa menguraikan sebab-musabab penderitaan itu terjadi atas orang tersebut. Padahal Allah yang berkuasa atas diri tiap orang. Dia mengetahui rancangan-rancangan apa yang patut Dia berikan pada setiap kita ketika kita menderita (Yer 29:11). Jangan cepat menghakimi. Atau malah berpikir,”Akh, untung bukan saya yang mengalaminya?!” Seakan-akan kita lebih baik dari orang yang sedang menderita itu. Keegoisan kita terumbar. Merasa diri lebih beruntung. Patutkah kita mengolok-olok orang lain yang sedang menderita seperti orang-orang Yahudi mengolok-olok Yesus di atas kayu salib? Turunlah dari salib itu?
Ketiadaan balas dendam atas apa yang kita derita menunjukkan kekuatan Allah. Allah bekerja memampukan kita untuk mengendalikan diri. Menyalibkan ego. Bila kita membalaskan kejahatan yang kita terima sehingga kita menderita dengan berbuat jahat pula itu berarti kita menjadi sama dengan orang jahat itu. Bila kita melakukan hal yang sama yang dilakukannya itu justru kita kalah oleh kejahatan itu dan menjadi hamba kejahatan. Coba tanyakan dengan orang yang begitu sadis membunuh orang lain, memperkosa atau melakukan pelecehan seksual? Mereka akan menjawab hal itu dilakukannya karena mereka pernah alami pelecehan atau penghinaan di dalam keluarganya. Mereka membalas perlakuan yang diterimanya dengan melakukan kompensasi perbuatan yang sama. Balas dendam hanya memunculkan kejahatan baru. Tapi kasih pengampunan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Ketika kita mengampuni orang yang menyakiti kita, kita menghentikan langkah kita untuk menuju kejahatan yang mungkin akan kita lakukan sebagai balas dendam.
Apa artinya Tuhan Yesus menanggung dosa-dosa kita dihubungkan dengan penderitaan yang kita terima? Marilah kita belajar dari Rasul Paulus. Apakah dia meratapi terus menerus dosa-dosanya yang pernah dia lakukan saat menganiaya jemaat Kristen? Apakah dia menghubungkan penderitaannya dalam memberitakan Injil sebagai upah dosa-dosanya dahulu? Tidak. Sama sekali tidak. Dia percaya dia telah ditebus. Dia memandang penderitaannya itu sebagai bagian yang dia ambil dalam penderitaan Kristus (Fil 1:29-30; Kol 1:24). Tuhan Yesus sudah menyelesaikan dengan sempurna penyelamatan atas kita dari dosa-dosa yang membelenggu. “Sudah selesai” (Yoh 19:30).
Kalau begitu apa yang terjadi bila penderitaan yang kita alami sebagai akibat dosa yang pernah kita lakukan di masa lalu? Kalau kita tak percaya akan penebusan Kristus maka yang kita alami adalah terbelenggu oleh rasa bersalah akan dosa-dosa masa lalu yang belum kita akui dan serahkan pada Kristus. Rasa bersalah akan dosa masa lalu itu membuat lumpuh dan ketidakmampuan untuk berbuat sesuatu yang baik. Mengapa bisa demikian? Ada keenganan dalam diri orang yang terbelenggu oleh rasa bersalah untuk berjuang keluar dari keadaan yang biasa dia alami. Kenyaman yang semu dimana seperti orang yang suka mengorek-orek rasa sakit itu. Layaknya orang yang menikmati rasa sakit penderitaan. Hal itu terjadi apabila kita sudah putus asa. Taka ada harapan untuk berjuang. Sudah berhenti melangkah. Tapi apa kabar baik bila kita menderita?
Tuhan Yesus telah mengalami sendiri perjuangan dalam penderitaan. Dia yang adalah Anak Allah yang pada-Nya Allah berkenan. Ucapan Bapa-Nya begitu menggema: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” Mat 17:5b. Namun demikian, olok-olokan orang-orang Yahudi seakan-akan menggugat pernyataan Bapa-Nya itu,”Ia menaruh harapan-Nya pada Allah, baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya. Karena Ia telah berkata : Aku adalah Anak Allah.” (Mat 27:43 seperti olok-olokan yang tertulis pada Maz 22:9). Inilah pertaruhan iman. Sebagai anak-anak Allah seringkali kita cepat mengeluh bila ternyata kita sedang dalam penderitaan. Ada penderitaan yang terjadi akibat dosa-dosa kita. Tapi ada juga penderitaan yang tidak semestinya kita tanggung tapi sebagai karunia Allah (1 Petrus 2:19). Namun demikian, bila kita adalah anak-anak Allah, Allah berkenan pada kita karena Kristus, Anak-Nya itu yang telah diserahkan pada kita. Perkenanan Allahlah yang menyakinkan hati kita. Ketika menghadapi olok-olokan orang-orang yang merendahkan iman kita. Ketiak seakan-akan tiada pertolongan yang kunjung datang. Ketika jalan keluar belum juga tersedia. Kita terdiam. Seperti Yesus yang diam, kita lebih baik tak menanggapi olok-olokan itu. Jangan merendahkan orang yang belum atau tidak disembuhkan dari sakit penyakit dan langsung dihubungkan dengan keberadaan imannya. “Ah, imannya aja yang lemah.” Yesus pun tidak mempermasalahkan orang yang buta sejak lahir apakah dari dosanya ataukah dari orang tuanya (Yoh 9 :2). Lebih baik kita memandang segala sesuatu di dalam penderitaan pada pandangan Allah.
Seperti Allah memandang salib sebagai kasih karunia Allah pada orang-orang berdosa karena Anak-Nya, Yesus telah mati disalib ganti dosa manusia. Kalau menurut pandangan manusia salib hanyalah dipandang sebagai akibat dosa manusia semata. Manusia yang berdosa yang harus mati. Manusia yang salah haruslah dihukum. Itulah kesangsian orang-orang Yahudi yang mengolok-olok Dia. Namun demikian, melalui salib malahan Allah menelanjangi dosa sebagai dosa, kejahatan sebagai kejahatan. Fitnah yang nyata akan terungkap. Kegelapan akan sirna oleh kuasa terang. Ketika terang kebangkitan Kristus dari kematian-Nya menyatakan kuasa Allah dan perkenanan Allah akan Anak-Nya itu.
Bila kita memandang segala sesuatu dari akhir, maka kita kan melihat dengan jelas. Sekarang bila kita baca keempat kitab Injil, maka kita akan menyadari kebenaran siapakah yang akhirnya menang? Kebenaran Kristuskah atau kebenaran orang-orang fasik yang mengolok-olok Dia? Kebenaran Kristus menjadi nyata ketika apa yang difirmankan Yesus menjadi kenyataan. Tergenapi (Yoh 18:9,32 ; 19:35-37) dan Yesus pun bangkit. Itu menunjukkan kata-kataNya benar adanya (Yoh 2:19). Tekanan selalu ada bila kita berada dalam penderitaan. Baik dari olok-olokan orang maupun dari hati kita. Keraguan dan kebimbangan akan janji-janji Allah seringkali mendera orang yang sedang menderita. Tapi sebagai anak-anak Allah, kita akan menerima janji-janji Allah jika kita menderita bersama-sama dengan Kristus (Rom 8:17). Namun, bila kita percaya pada Yesus yang telah bangkit, iman kita akan dikuatkan tatkala menanggung penderitaan. Pandanglah penderitaan seperti Allah memandangnya. Allah bahkan memakai penderitaan itu untuk supaya kita senantiasa memandang Dia san “Ingatlah selalu akan Dia , yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang yang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.” (Ibr 12:3). Kristus telah menang dan sekarang duduk di sebelah kanan Allah. Itu harapan kita dalam menanggung kehinaan salib. Sebab sukacita telah disediakan oleh Dia bagi kita yang percaya pada-Nya (Ibr 12:2).
Apa keuntungan kita yang dimampukan untuk bertahan dalam penderitaan demi Kristus?
1. Mampu menghibur orang lain
Seperti dinyatakan Rasul Paulus pada jemaat Korintus di suratnya yang kedua (2 Kor 1:3-7) dia mengalami sendiri penderitaan itu seperti apa. Dia rasakan sebagai konsekuensi mengikut Kristus. Namun sebagaimana apa yang dia alami ketika menderita dalam Kristus, dia menerima penghiburan Allah. Dan penghiburan itulah yang dijadikan kesaksian hidup untuk menguatkan orang lain yang juga menderita bagi Kristus.
2. Bersandar pada Allah yang menyelamatkan
Di dalam penderitaan yang berat sekalipun, Rasul Paulus tetap berharap akan menerima kelepasan dan keselamatan. Sehingga dia tak lagi menaruh kepercayaan pada diri sendiri tapi pada Dia yang sanggup membangkitkan orang mati (2 Kor 1:9-10)
3. Menimbulkan ketekunan (Rom 5:3)
Kesengsaraan atau penderitaan yang kita alami membwa kita pada pendisiplinan diri sedemikian rupa sehingga kita tetap bertekun di dalam Tuhan. Ketekunan itu menunjukkan kesabaran kita dalam menanggung segala sesuatu. Itu adalah buah Roh. Sungguh satu anugerah bila kita diberikan kesempatan untuk melewati penderitaan supaya kita dapat menghasilkan buah.
4. Pengerjaan kemuliaan kekal (2 Kor 4:16-18)
Harapan akan kemuliaan yang akan datang membuat kita tak kan tawar hati menghadapi penderitaan yang sedang kita terima. Kesungguhan untuk mengizinkan Allah memperbaharui manusia batiniah kita terus-menerus membuat kita tabah. Kedewasaan kita akan terlihat bagaimana kita melewati masa-masa sulit itu dalam hidup ini. Di situ tangan Allah begitu nyata bagi kita. Dengan penderitaan bersama Kristus, kemuliaan bersama Kristus pun akanj kita terima. Janji-janji Allah menjadi hak kita sebagai anak-anak Allah yang telah menderita bersama Kristus (Rom 8:17)
5. Berkorban demi orang lain (Kol 1:24)
Satu sukacita bagi Rasul Paulus untuk ambil bagian dalam penderitaan Kristus bagi jemaat-Nya. Banyak tekanan dan fitnahan dia terima demi memberitakan Injil Kristus. Itu tak membuatnya sedih. Atau menyalahkan diri sendiri membiarkan larut dalam mengasihi diri sendiri karena kesalahan masa lalu sebagai penganiaya jemaat Kristen. Tidak. Dia bersukacita karena dilayakkan menderita demi Kristus, Tuhannya. Apa yang dikatakan tentang hukum kasih karunia sungguh dia alami sendiri. Damai sejahtera Kristuslah yang memenuhi hatinya. Keakuan telah berakhir (Gal 2:20). Kini hidupnya diberikan untuk orang lain supaya mereka percaya pada Kristus.
6. Diberikan kesempatan untuk selalu berbuat baik (1 Pet 4:19)
Apa bedanya penderitaan yang ditanggung seorang penjahat/pembunuh/pencuri dengan orang yang menderita karena Kristus? Dia yang menerima hukuman karena dosanya takkan bisa bersukacita karena harus menyesali perbuatan-perbuatannya itu. Dan bagi yang menyesal tanpa pertobatan maka penderitaan yang selanjutnya akan mereka terima itu hanya akan membawa rasa bersalah semata yang akhirnya melumpuhkan kemauan untuk berbuat baik. Orang yang dihantui oleh rasa bersalah memeiliki kecenderungan mengulangi kembali kesalahan yang sama. Berulang kembali. Tanpa pembebasan akan rasa bersalah maka hidupnya akan terbelenggu oleh lingkaran setan. Penyesalan - rasa bersalah - pengasihan diri sendiri - rendah diri – mengulangi kesalahan – penyesalan. Demikian berulang terus. Tapi orang yang telah dibebaskan dari rasa bersalah akan memperoleh kemenangan untuk mengatasi rasa takut untuk tetap berbuat baik. Perbuatan baik dipahami bukan sebagai tebusan atas kesalahan masa lalu tapi sebagai keniscayaan untuk hidup dalam kehendak Allah yaitu penyerahan hidup atau nyawa. Sebab Yesus yang telah menyerahkan nyawa-Nya bagi kita menunjukkan itu sebagai kebaikan semata-mata.
7. Memperoleh hidup
“Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat 16:25). Suatu paradoks memang. Tatkala kita kehilangan hal-hal yang berharga di hidup ini saat kita alami penderitaan demi Kristus malahan Tuhan berjanji akan memberikan hidup itu. Hal yang berharga yang mungkin kita jadi sandaran hidup kita bisa saja hilang lenyap. Kesehatan, pekerjaan, keluarga, harta benda, hubungan dan lain-lain. Semua itu bisa hilang dalam sekejap dan diambil-Nya kembali tapi Dia akan anugerahkan segala sesuatu yang lebih baik. Ketika sandaran-sandaran itu diijinkan terlepas dari kita, kita diminta untuk menjadikan Allah sandaran satu-satunya. Pemahaman akan hal iini akan menemukan arti hidup yang sebenarnya. Seperti kita renungkan pada sanjak berikut ini :
Memperoleh Keuntungan melalui Kerugian
Aku mohon Allah memberiku kekuatan agar dapat berprestasi,
aku dijadikan lemah supaya belajar taat dengan rendah hati
Aku mohon kesehatan agar dapat melakukan hal-hal yang lebih besar,
aku diberi penyakit supaya melakukan hal-hal yang lebih baik
Aku mohon kekayaan agar aku bahagia,
aku diberi kemiskinan supaya menjadi bijaksana

Aku mohon kuasa agar dipuji oleh manusia,
aku diberi kelemahan supaya menyadari bahwa aku perlu Allah
Aku mohon segala hal agar dapat menikmati hidup,
aku diberi hidup supaya dapat menikmati segala hal
Aku tak menerima apa yang kuminta
tetapi mendapat segala sesuatu yang kuharapkan
Sekalipun keadaan diriku dan doa-doaku
yang tak diucapkan itu dikabulkan.
Akulah yang paling diberkati diantara segala manusia

Septa Widodo Munadi ; Godong – Purwodadi , 24 September 2010

Selasa, 27 Juli 2010

Jumat Agung - sebuah puisi untuk sahabat

Hari ini adalah hari peringatan akan sengsara, pengorbanan dan kematian Tuhan Yesus
Dia datang ke dunia untuk mati…
Dia yang suci mau sengsara tinggal di antara mereka yang najis
Dia yang benar diperhitungkan diantara orang berdosa
Dia yang harusnya menghakimi datang jadi pembela
datang jadi terhukum…
terkutuk…
terhina…
ditolak…
rela menderita melakukan kehendak Bapa
bergumul dalam doa
diam saat dicaci maki
tunduk ketika didera dan disiksa
menjerit “Eloi, Eloi, lama sabaktani”
Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”…
ditolak bumi
ditolak surga
tergantung diatas bumi
di bawah langit
kenapa harus mati
kenapa salib
tak cukupkah Engkau berfirman:
“Aku telah mengampuni dosa-dosamu bahkan dosamu
yang setinggi langit dan sedalam lautan”
Tak cukupkah Engkau berfirman:
“Hai dosa, pergilah dari dunia ini”
cara-Mu, Tuhan tak bisa kumengerti
lihat aku yang lemah ini
ketika aku berkata-kata:
“aku mau berkorban untuk sahabatku ini”
aku selalu mengharapkan ia membalas kasihku
saat aku berkata:
“aku cinta padamu”
aku menanti dia juga peduli
aku pernah berpikir aku rela ditolak bumi dan sorga
aku mau terbuang dan tersiksa dalam lautan api untuk sahabatku
namun saat yang sama
aku marah, jengkel, dan sebel bila ia tak menghargaiku
kuingat semua salahnya
kuungkit segala lemahnya
kuhakimi ” kau salah, harusnya begini…
tak semestinya kamu melakukan semua itu….”
aku mengasihimu tapi…
aku peduli padamu kalau…
aku begitu sayang,
aku begitu rindu memperhatikanmu
bila..
kau juga sama sepertiku
aku mencintaimu namun jangan sampai kau melukai hatiku….
seperti itulah aku
demikianlah sikapku
itulah kasihku yang semu
dorongan hati yang palsu
motivasi abu
akankah aku bisa mengasihi saudaraku dengan cara-Mu, Tuhan?
mencinta dengan cinta-Mu
memberi dengan anugerah-Mu
peduli dengan hati-Mu
sanggupkah aku meninggalkan kasih egoku
mengenakan hati-Mu
melihat dengan mata-Mu
mencari dengan tangan-Mu
temukan dalam langkah-Mu
oh, Tuhan….
kasihku tak sempurna
cintaku tak abadi
haruskah aku terus berkata:
“Yesus baik, Yesus ajaib, Yesus luar biasa
Dia kan Allah yang Mahakuasa
bukankah Dia manusia sempurna
Siapakah aku hanya debu
wajarlah kalau aku gagal
biasa saja kalau kukalah
sampai kapan aku menjerit
aku tak sanggup…
aku tak bisa…”
sering kubertanya:
“bukankah aku orang percaya
tapi kenapa aku tak miliki kasih-Mu
kurang percayakah aku
atau sia-siakah imanku
tiada sungguhkah keyakinanku…”
dimanakah Engkau, Tuhan…
saat kusakiti hati mereka
kemanakah Engkau
bila saat kukalah oleh nafsuku
kulemah oleh inginku
jatuh dalam pemikiranku
sudahkah Kau tinggalkan aku
dengan lembut Engkau berkata:
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu
maka kamu akan berbuah banyak.
sebab kamu tak dapa berbuat apa-apa
jikalau kamu di luar Aku….”
Bogor, JumaT Agung – 13 April 2001

Terapi Arang : Kutemukan Kembali Cintaku di Tepi Danau Tiberias

"Kita tidak dapat mengubah apapun, kecuali kita telah menerima hal itu. Menyalahkan berarti tidak membebaskan, malah sebaliknya menekan. Menerima diri sendiri merupakan inti moral dan pembuktian seluruh pandangan seseorang akan kehidupan. Jika saya memberi makan si pengemis, mengampuni seorang penghina dan mengasihi musuh saya dalam Kristus tidak diragukan lagi semua itu adalah kebajikan yang besar......
Tetapi, bagaimana jika saya yang mengalami semua itu, manjadi paling miskin dari semua pengemis, paling kurang ajar dari semua penghina dan paling jahat dari semua penjahat, sehingga saya membutuhkan kebajikan itu. Saya adalah musuh yang harus dikasihi - bagaimana jika ini yang terjadi?
Kutipan di atas, diungkapkan oleh Jung (1932) seperti tertulis dalam buku Seni Memahami Diri Sendiri, Cecil G. Orborne, BPK, 2001 hal 27. Memang demikian adanya kita bila kita mengalami kebangkrutan rohani dan kegagalan moral. Kesalahan yang pernah kita lakukan terasa menyesakkan dada. Menekan. Bahkan membuat cemas. Kita membutuhkan pertolongan.

Dengan mudah kita bisa katakan "Tuhan pasti menolong". Tapi masalahnya kita tidak menyadari bahwa Tuhan telah menolong kita. Dia telah mengulurkan tangan-Nya dan berusaha mengangkat kita kembali. Itulah yang terjadi pada Simon Petrus. Orang yang begitu dekat dengan Tuhan Yesus lebih dari siapapun kala itu. Dia malah menyangkal mengenal-Nya saat-saat menjelang penyaliban-Nya. Ironis. Kita pasti ingin memarahinya. Memaki. Tapi, bukan kita saja yang mungkin geram melainkan dia sendiri. Jengkel, kecewa dan sulit menerima diri sendiri. Namun, Tuhan Yesus sanggup memulihkannya melalui satu peristiwa yang mungkin biasa tapi sangat menakjubkan bila direnungkan. Saya selanjutnya akan menyebutnya dengan "Terapi Api Arang".

Peristiwa itu terjadi di tepi danau Tiberias (Galilea). Sebaiknya kita membaca keseluruhan pasal Yoh 21. Dari tiap ayat, kita dapatkan makna ynag mendalam. Terlebih bagi mereka yang telah mengetahui perjalan iman seorang Simon Petrus pada keempat kitab Injil. Mulai dari pemanggilannya, keikutsertaannya dalam pelayanan Yesus dan sampai ia menyangkal-Nya. Kita pasti kagum dan ingin seperti dia. Tapi tunggu dulu. Apakah kita juga dapat merasakan kegagalan-kegagalannya sebagai murid Yesus? Apakah kita juga mau merasakan betapa bangkrutnya kita bila kita mengandalkan diri sendiri dan ternyata mengecewakan Tuhan?

Peristiwa itu terjadi setelah Tuhan Yesus bangkit. Simon Petrus bersama murid-murid yang lain ke Galilea sesuai dengan pesan Yesus yang diingatkan kembali oleh Maria Magdalena karena malaikat yang mengatakannya di kubur yang kosong itu. Seharusnya tujuan mereka adalah ke bukit yang ditunjukkan Yesus ( Mat 28:16) bukan malah kembali menjadi nelayan. Bukankah pekerjaan itu telah mereka tinggalkan karena mengikut Yesus. Tapi mengapa mereka malah kembali melaut? Saya yakin mereka telah menyaksikan sendiri bahwa Yesus telah bangkit dengan segala buktinya. Saya mengira ada keputusasaan dalam diri mereka. Mereka masih mengingat kegagalan mereka. Mereka meninggalkan guru-Nya ketika ditangkap dan malah pemimpin mereka , Simon Petrus, menyangkal mengenali-Nya.

Makanya, Yesus sendirilah yang harus memulihkan mereka terutama Simon Petrus. Caranya? Yesus merekontruksi segala kenangan yang pernah Petrus alami bersama Yesus. Hal-hal kecil telah dijadikan sarana untuk mengingatkannya akan karya Tuhan atas dirinya. Kenangan itu kadang indah kadang menyakitkan. Tapi semenjak peristiwa penyangkalan itu semuanya menjadi runtuh tiada arti lagi. Betapa ia masih ingat sumpahnya yang tak tergoncang imannya sekalipun mengikuti Yesus sampai mati, tapi ternyata tidak. Kesombongannya runtuh. Tak ada lagi yang dapat dibanggakan.

Pengalaman pahit bisa saja langsung kita pendam, tapi apabila tidak kita akui telah sungguh-sungguh terjadi maka hal itu akan menghantui seumur hidup kita. Seperti yang dikatakan Jung, kita membutuhkan suatu kebajikan. Untuk dapat berubah harus ada perubahan dalam diri kita. Untuk dapat menerima pengalaman masa lalu kita harus memiliki sudut pandang yang baru sama sekali. Harus ada Seorang penolong yang mencerahkan pandangan kita dan membawa kita ke sana.

Sebagai nelayan ulung, Simon Petrus akan dengan mudahnya memperoleh tangkapan ikan. Sebab ia pasti tahu di mana ikan-ikan akan mengumpul. Tapi naas, malam itu, ia tidak dapat apa-apa. Barulah menjelang siang, Yesus datang dan memintanya ×menebar jala di sebelah kanan perahu yang akhirnya mendapat tangkapan banyak dan besar-besar. Kembali melayang ingatannya pada pemanggilannya pertama kali untuk menjadi penjala manusia. Di hadapan banyak orang ia disuruh melakukan hal yang sama. Tapi sekarang jalanya tak koyak meski dulu jalanya sampai koyak. Waktu itu ia tersungkur dan meminta Yesus pergi daripadanya karena menyadari keberdosaannya. Tapi sekarang di tepi danau Tiberias, ia malah terjun ke danau menghampiri Yesus di tepi pantai. Terasa ketakutannya mulai tertepis. Seakan Tuhan kembali mengingatkan janji-Nya yang teguh untuk menjadikan Simon Petrus sebagai penjala manusia. Jumlah tangkapan yang menarik, 153 ekor. Bila secara matematis jumlah itu adalah penjumlahan angka 1 sampai dengan 17. Hal ini memiliki makna bahwa Yesus sendirilah yang akan menambahkannya...

Ketika tiba di darat, mereka telah melihat api arang dan diatasnya ikan dan roti. Mengingatkan dimana waktu itu ia sedang berdiang di depan api arang (Yoh 18:8). Juga kala Yesus memberi makan pada 5000 orang (Yoh 6:1-15). Dua peristiwa disatukan. Yang satu kegagalan iman, yang lain pengalaman iman. Yang satu penolakan diri yang lain penerimaan dalam persekutuan. Perasaannya pasti campur aduk. Mana yang sebenarnya Tuhan kehendaki untuk dia pahami. Tapi keduanya sungguh-sungguh disatukan.

Inilah yang saya maksudkan dengan terapi api arang. Bagaimana Tuhan akan memperhadapakan kita pada kenangan akan peristiawa yang menyakitkan dan juga kadang bersamaan dengan hal-hal yang indah. Hal ini dimaksudkan untuk merekontruksi kembali perasaan kita yang sebenarnya waktu itu. Kita diajak untuk mengakuinya agar pengalaman itu tak lagi menekan sehingga kita dapat menyerahkannya pada Tuhan. Segala sesuatu tak dapat kita serahkan pada Tuhan apabila kita sendiri belum mengakuinya.

Hal berikutnya, Yesus mengajukan pertanyaan, satu hal yang penting dalam proses ini. Ia mengajukan pertanyaan yang sama sebanyak 3 kali sebanyak Simon Petrus telah menyangkali mengenal-Nya. Nah, dalam tanya jawab ini terlihat pengakuan Petrus. Ia kembali menegaskan kalau ia mengasihi Tuhannya lebih daripada teman-temannya. Mengingatkan ia akan sumpahnya. Dan tergambar juga suasana waktu itu dimana Petrus hanya sanggup mengasihi Yesus dengan kasih filia (kasih persaudaraan) bukan kasih agape yang diminta-Nya. Ia mengakui dengan jujur apa adanya keberadaan dirinya. Ia tidak lagi menyombongkan diri bahwa ia sanggup mengasihi Yesus dengan kasih agape (kasih tanpa syarat). Namun demikian, Yesus menerima pengakuan itu danmemberikan tugas baru untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Dan kita tahu ia akhirnya melaksanakan tugas itu malah dalam suratnya ia meminta penatua gereja melakukan hal yang sama.

Sedemikian istemewanya seorang Simon Petrus dalam jemaat mula-mula sehingga akhir hayatnya pun dinubuatkan oleh Tuhannya dan dicatat dalam Alkitab. Penubuatan akan kematiannya yang akan memuliakan Allah dan Yohanes dalam kitab Injilnya mencatat itu telah digenapi. Menurut tradisi gereja, Petrus mati disalib terbalik di kota Roma. Penubuatan itu seakan memaknai kehidupan Petrus selanjutnya. Dibandingkan dengan nubuatan akan penyangkalan waktu itu, nubuatan itu mampu menghapus kegetiran kegagalan akan masa lalunya.

Kejadian terakhir pada pagi itu, Yesus mengajak Simon Petrus berjalan mengikuti-Nya. Tapi Yohanes (murid yang dikasihi itu) mengikuti mereka dari belakang. Petrus bertanya juga tentang dirinya, Tuhan Yesus mengingatkan bahwa itu bukan urusannya. Urusannya adalah mengikut Yesus. Hal ini pun melayangkan ingatannya pada waktu Simon Petrus dibawa oleh Andreas, saudaranya kepada Yesus. Saat-saat pemanggilan pertama.

Dari terapi api arang yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap Simon Petrus itu kita diajak merenung kembali. Apakah ada saat dimana Tuhan membawa kita pada kondisi seperti itu? Dimana kita harus menghadapi luka-luka batin kita di masa lalu melalui peristiwa yang mengingatkan hal itu. Bisa jadi kita akan ketemu orang penting dalam kehidupan kita yang mau tidak mau akan mengorek luka itu. Siapkah kita? Oleh bilur-bilur-Nya kita telah disembuhkan (1 Pet 2 :24). Dia menanggung dosa kita. Dan akibat dosa kita, Dia harus menderita, didera dan menerima hukuman atas dosa-dosa kita.

Lihatlah, siapakah teman dekat kita, siapa pacar kita, isteri atau suami kita, suasana kantor tempat kita bekerja, suasana sekolah kita dimana hal itu membawa ingatan akan kepahitan, kegeraman, dan luka di waktu kecil ketika kita di tengah-tengah keluarga. Beranikah kita mengakui adanya peristiwa yang akan mengingatkan kita akan kenangan masa lalu dan menyerahkan pada pengaturan dan pemeliharan Tuhan? Seperti duri dalam daging. Nyeri. Menyakitkan. Tapi itu harus kita hadapi. Mintalah hikmat Tuhan untuk hal itu.....

Bogor, SWM. 7 April 2004
(Pernah diterbitkan sebagai artikel dalam buletin "DIAN" GKJ Bogor no.xxi/April 2004)

Ads Inside Post