Welcome to Widodo's Blog

Membaca untuk mengambil hikmat
Merenung agar bisa lebih bijak
Memahami supaya tak salah menerima

Laman Utama

Jumat, 21 November 2014

Kebenaran Kristus versus Kepalsuan Iblis



Bahan renungan: Yoh 18 : 33 - 40


“Apakah Kebenaran itu?”
Pertanyaan menggantung dari Pilatus pada Yesus itu dinyatakan  ketika ia mengadili Yesus setelah diserahkan oleh orang-orang Yahudi (Yoh 18:38a). Dia tak menunggu jawaban Yesus. Dia lanjutkan dengan tindakan sendiri yang menurutnya benar untuk berusaha ‘menyelamatkan’ Yesus yang tidak didapati melakukan satu kesalahan pun. Dia bertindak demikian seakan-akan dia berkuasa atas diri Yesus dengan menawarkan pilihan untuk ‘membebaskan’ Yesus. Namun ternyata apa yang dilakukannya itu malah ditolak oleh orang-orang Yahudi. Dan mereka lebih memilih Barabas, seorang penyamun yang nyata-nyata seorang penjahat. Mereka tidak mau menerima Yesus sebagai Raja dan menganggap-Nya sebagai penjahat yang ‘layak’ untuk disalibkan. 

Yesus telah banyak berbuat baik dan menunjukkan kasih-Nya pada orang-orang Yahudi dengan menyembuhkan orang-orang sakit dan mengusir setan-setan. Namun mereka tetap menolak-Nya. Yesus telah memberikan kesaksian yang baik melalui perkataan maupun perbuatan-Nya dan apa yang disaksikan-Nya itu adalah kebenaran. Dan orang-orang yang menerima-Nya adalah orang-orang yang mau percaya pada kebenaran yang disaksikan-Nya itu.

Menerima adalah kata kunci untuk percaya. Dengan menerima, kita mendapatkan apa yang diberikan oleh Yesus. Jika Yesus adalah Raja yang menyaksikan kebenaran (Yoh 18:37) maka apa yang kita terima adalah kuasa untuk hidup dalam kebenaran itu. Inilah yang membedakan Yesus dengan pemimpin agama lain. Tak ada seorang pun yang berani menjamin orang yang percaya pada suatu ajaran maka orang tersebut akan bisa hidup dengan sempurna dalam ajaran itu. Semuanya tergantung pada kemampuan manusia yang mempercayainya.
Hanya Yesus yang bukan saja mengajarkan kebenaran tapi juga memberikan kuasa bagi barangsiapa yang percaya kepada-Nya untuk bisa hidup dalam kebenaran-Nya.

Raja menunjukkan orang yang berkuasa. Dan pengikutnya adalah orang yang mengakui adanya kuasa raja itu. Kuasa itu dinyatakan dengan perantara kata-kata atau perintah. Siapa yang mendengarkan kata-kata raja dan melakukannya berarti dia telah ‘dikuasai’ oleh raja itu dan berada dalam pemerintahannya. Ini berarti pula siapa yang kita dengarkan akan menentukan sikap dan keputusan hidup kita? Apa yang kita dengarkan? Bagaimana kita mendengarkannya? Semua itu akan menentukan hakekat diri kita sebenarnya.

Satu contoh: kita mungkin ga habis pikir dengan orang yang mau mencari kembang tujuh rupa untuk satu syarat tertentu yang disebutkan oleh dukun yang dipercayainya. Namun, intinya bukan pada kembang/bunga itu apakah memiliki kuasa atau tidak, tapi pada penundukan diri pada kemauan si dukun tersebut. Kalau seseorang sudah tunduk pada kemauannya itu berarti orang tersebut telah berada dalam kuasa dukun itu dan roh yang menguasainya.

Mari perhatikan bagaimana ketika Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Awalnya, Iblis –yang menyatakan diri sebagai ular- menyatakan kepalsuan yaitu dengan memutarbalikkan kebenaran firman Tuhan.  Firman Tuhan dalam Kej 2 : 16b telah nyata : “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,..” tapi ular itu memutarbalikkan dengan berkata : “Tentulah Allah berfirman : Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Kej 3 : 1b. Iblis adalah Pendusta. Apapun yang dikatakannya dusta (Yoh 8 : 44).

Nah, kesalahan pertama Hawa waktu itu adalah mendengarkan perkataan itu dan menanggapinya tanpa pertimbangan suaminya, yang pertama kali menerima firman itu. Dia terperangkap untuk ikut mengaburkan dan menambahkan kata “meraba” ketika semakin dibujuk oleh ular itu. Hawa melihat, memikirkan dan mengamini apa yang dikatakan oleh ular itu sehingga bertindak sendiri -tanpa pertimbangan Adam, suaminya- untuk mengambil dan memakan buah terlarang itu. Dan bukan hanya berhenti menjadi pengikut ular itu tapi juga memberikan buah itu pada suaminya untuk melakukannya juga.

Menerima dan memberikan kepada orang lain. Itu artinya menyerahkan diri pada kuasa Iblis untuk bertindak dosa –melawan hukum Tuhan. Semenjak itu, Iblis berkuasa terhadap manusia karena mereka mendengarkan suara Iblis dan melakukannya, bukan menolaknya. Iblis ‘merajai’ manusia.

Penerimaan terhadap kepalsuan inilah yang membuat manusia berdosa tidak dapat menerima kebenaran. Karena keduanya bertentangan. Kepalsuan hanya memunculkan kebenaran diri sendiri bukan kebenaran Allah. Kebenaran Allah menyatakan hidup didalam-Nya dan dalam pengaturan-Nya.  Sedangkan kebenaran diri sendiri menyatakan kebebasan tak bertanggung jawab hanya menuruti kemauan, ukuran dan pemahaman sendiri. Kebenaran diri sendiri dinyatakan oleh Adam dan Hawa dalam menyikapi keadaan dirinya setelah tahu mereka telanjang. Mereka menutupi ketelanjangan mereka itu dengan hanya menyematkan daun pohon ara dan membuatnya cawat (Kej 3 : 7). 

Ini membuktikan kebodohan manusia berdosa. Mereka mengatasi masalah dengan pemahaman mereka sendiri. Tanpa tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu tidaklah sempurna. Bila daun pohon ara dijadikan cawat maka fungsinya hanya sementara karena cepat rusak. Mereka harus membuatnya kembali. Berarti tak sempurna. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Allah dengan membuat pakaian dari kulit binatang yang lebih awet dan sempurna menutupi ketelanjangan tubuh mereka tak sekedar hanya menutupi kemaluan mereka (Kej 3:21). Meskipun untuk itu, Allah harus menumpahkan darah binatang itu. Inilah mengisyaratkan makna penebusan sesungguhnya. Perlu penumpahan darah.
           
Dalam penebusan, Allah melakukan dengan sempurna – didalam Kristus Yesus. Sedangkan manusia mencari jalannya sendiri untuk menebus dosa mereka. Banyak hal yang mereka lakukan dengan cara mengandalkan ritual, tata cara ibadah, hukum ini dan itu serta aturan penyucian diri yang hanya nampak luarnya saja tanpa bisa menyelesaikan masalah sesungguhnya yaitu pemberontakan terhadap pemerintahan Allah. Bersikap mampu mengatasi segala sesuatu sendiri adalah bukti keberdosaan manusia. Egois. Begitu banyak orang merasa dirinya saleh dan benar sehingga tak memerlukan penebusan. Menolak karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Mereka lebih mendengarkan suara hati mereka dan suara Iblis dalam menjalankan kehidupan ini.

Padahal dengan pemberontakan itu, manusia menjadi takut dekat dengan Allah dan bersembunyi. Rasa bersalah membelenggu mereka. Mereka membela diri dengan mengesampingkan tanggung jawab atas keputusan yang telah mereka ambil dengan melemparkan kesalahan pada orang lain dan yang membujuknya berbuat dosa. Rasa bersalah –yang tidak diatasi- akan menjebak manusia untuk ‘menutupi’ dosa dengan dosa yang lain. Tanpa penyelesaian berarti dan tuntas. Tidak ada kebenaran dalam rasa bersalah yang melumpuhkan itu. Oleh karena itu Ia menghukum manusia yang berdosa itu supaya menyadari akan kesalahan-kesalahannya. Hukuman Allah pun dihubungkan dengan apa yang telah mereka lakukan itu.

Ketika mereka menerima dengan mudahnya dan menyerah atas bujukan Iblis, maka hukuman manusia adalah kesulitan dan kesukaran (Kej 3 : 16-19). Penderitaan akibat dosa terjadi karena manusia tidak sanggup menolak kepalsuan yang ditawarkan Iblis, malah menerimanya dan menjadi hamba dosa. Seorang hamba harus melakukan kemauan tuannya. Jika tuannya yang suka akan kepalsuan maka hamba-hambanya pun melakukan hal yang sama.
Itulah kenapa, Iblis selalu menawarkan pada manusia jalan yang mudah dan malah menuju ke kebinasaan. Dan jalan Yesus, Sang Mesias adalah jalan salib (jalan sempit). Jalan salib telah dilakukan-Nya sebagai bagian untuk penebusan manusia dalam keberdosaannya dengan menanggung akibat dari dosa-dosanya itu. 


Nah, kebenaran Allah dalam Kristus Yesus itulah yang ditawarkan pada kita untuk kita percayai. Dengan ketaatan penuh, Yesus mau dan rela menanggung derita demi kehendak Bapa, Allah-Nya, untuk mengatasi pemberontakan kita terhadap Allah dan itu hanya Dia saja yang sanggup melakukan dengan sempurna sebab dia Anak Allah. Kesanggupan-Nya menanggung salib untuk menebus dosa kita menyadarkan kita akan kemampuan-Nya untuk bisa hidup bagi Allah dan setelah Dia mati di atas kayu salib, Dia bangkit membuktikan pembenaran diri-Nya di hadapan Allah.

“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya”. Yoh 1:12. Menerima diri Yesus juga berarti menerima kuasa-Nya. Yesus yang sanggup mengatasi dosa dan pencobaan memberikan kuasa yang sama juga bagi mereka yang menerima-Nya. Itulah makna kebenaran Kristus. Darah Kristus bukan saja menebus manusia berdosa dari murka Allah tapi juga berkuasa untuk memampukan orang yang menerima-Nya hidup dalam kebenaran (1 Pet 1:18-19). Hidup Kristus menjadi hidup kita. Tidak lagi menuruti dan mendengarkan si jahat dengan segala kepalsuannya tapi hidup bagi Allah. Setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku, Yoh 18:37c.

Apakah kebenaran itu? Pertanyaan Pilatus itu seperti pertanyaan kebanyakan orang. Kebenaran seperti apa yang harus didengarkan? Kesangsian akan kebenaran yang dinyatakan oleh Allah sendiri melalui Anak-Nya dikarenakan masih ada selubung yang menutupi mata hati seseorang. Dengan adanya selubung itu, orang terhalang untuk melihat kebenaran. Tanpa disingkapkan maka orang tak akan percaya dan menerima kebenaran. 

Seringkali kita putus asa terhadap orang-orang yang menentang Injil dan kebenarannya. Bagaimana mereka yang telah nyata-nyata menerima pemberitaan Injil dan kebenarannya itu tak mau percaya? Malah menentangnya. Hal itu karena selubung yang menutupi mata mereka. Selubung itu berupa ilah-ilah zaman ini. “Tetapi apabila hati seorang berbalik kepada Tuhan maka selubung itu diambil daripadanya.” 2 Kor 3 : 16.

Hanya Roh Kudus yang sanggup membukakan selubung itu. Roh kudus adalah Roh kebenaran bertentangan dengan roh antikristus yang menyesatkan. Barangsiapa yang mendengarkan Roh Kudus, ia percaya akan karya penyelamatan Yesus Kristus diatas kayu salib untuk menebus dosa kita. Dan hanya oleh Roh Kuduslah, kita mengaku Yesus itu Tuhan (1 Kor 12:3). Itulah kasih karunia dimana semua karena Allahlah yang bekerja di dalam kita untuk menyelamatkan kita. Bukan berdasarkan kebenaran diri sendiri. Oleh karena itu, apabila kita menghendaki seseorang diselamatkan dan menerima kebenaran-Nya maka kita harus berdoa pada Allah yang sanggup menyelamatkan orang-orang tersesat dalam dosa. Tanpa itu, sia-sialah kita berusaha menyatakan dengan segala pemahaman dan pengetahuan tentang Injil Kristus.

Pekerjaan Iblis menentang manusia untuk menerima kebenaran. Karena kebenaran itu memerdekakan mereka (bandingkan dengan Yoh 8 : 32). Kesanggupan kita menolak bujuk rayu / hasutan Iblis untuk menentang pemerintahan Allah karena pengendalian diri yang juga adalah buah Roh. Kita tidak boleh tunduk kepada Iblis tapi tunduk kepada Allah. Bila kita tahu apa itu kebenaran maka kita pun akan tahu bagaimana sifat kepalsuan itu. Karena kepalsuan itu selalu bertolak belakang dengan kebenaran.

Lihat apa yang ditawarkan Iblis selalu bertentangan dengan Firman Allah. Pelacuran / percabulan bertentangan dengan penebusan. Melacur itu berarti menjual diri sedangkan penebusan itu berarti telah dibeli dan dibayar lunas. Melacur membuat diri tak berharga tapi oleh penebusan Kristus, kita menjadi berharga. Hawa nafsu duniawi bertentangan dengan jalan salib penderitaan Kristus. Jadi kita tak perlu mempelajari seluk-beluk Iblis untuk dapat mengetahui kejahatan itu tapi cukup dengan mengenal kebenaran itu sendiri maka kita akan tahu seperti apa si jahat itu dan segala perbuatannya. Karena mereka bertentangan.

Karena itu bagaimana kita akan bisa hidup dalam kebenaran? Kita harus mau dipimpin oleh Roh Kudus. Dengan pimpinan Roh Kudus, kita akan menghasilkan buah Roh yang nyata dan memampukan kita untuk menolak segala tipu daya Iblis. Apabila roh jahat yang mengendalikan diri seseorang maka merusak dirinya dan hidupnya. Mencuri apa yang Tuhan karuniakan padanya, membunuh pikiran, perasaan dan kehendak untuk melakukan perbuatan baik serta membinasakan jiwanya karena menerima hukuman yang akan datang. 

Seringkali proses penginjilan disertai dengan pengusiran setan-setan. Hal itu untuk mempersiapkan jalan bagi Roh Kudus membuka hati seseorang untuk percaya pada Kristus Tuhan. Dalam Kitab Injil Markus, malahan penginjilan dan pengusiran setan senantiasa beriringan dan dinyatakan sebagai apa yang Tuhan Yesus lakukan. Pemahamannya adalah ketika kebenaran itu datang maka yang palsu itu akan menyingkir.
Namun demikian dalam Injil Markus, Tuhan Yesus menolak kesaksian roh-roh jahat tentang diri-Nya dan memperintahkan mereka diam (Mark 1:24-25 ; 5:7-8). Tuhan Yesus tidak mau membiarkan pengakuan roh-roh jahat itu sebagai dasar iman orang percaya pada-Nya. Meskipun roh-roh jahat itu tahu siapa sebenarnya Yesus sebagai Anak Allah. Kepalsuan tidak akan mungkin menjadi dasar bagi kesaksian kebenaran.

Inilah kenapa Rasul Yohanes dalam suratnya yang pertama mengingatkan kita untuk hidup dalam terang bukan di dalam kegelapan. Maksudnya adalah supaya kita hidup dalam pengakuan diri, terus terang, keterbukaan dan tidak ada yang ditutup-tutupi di hadapan Allah. Karena memang tak ada yang mungkin di sembunyikan dihadapan-Nya. Pengakuan kita akan keadaan kita yang berdosa menjadi dasar untuk kita bisa menerima pengampunan yang diberikan Allah dalam Yesus Kristus. Tanpa itu, kita berdusta baik terhadap diri sendiri maupun terhadap Allah. Bila kita berdusta maka kebenaran tak ada di dalam kita.
Demikian juga dengan pengakuan itu pula hendak menyatakan sungguh Yesus mati bagi kita dan kita menerima-Nya. Oleh karena itu, pemberitaan Injil senantiasa akan menantang orang yang mendengarnya untuk mengakui keberdosaan dirinya dan membawa orang itu pada pertobatan. Sebab Allahlah yang dalam Yesus Kristus yang sanggup menyucikan orang itu dari segala dosa dan kejahatan (1 Yoh 1:5-10).

Kebenaran itu akan memerdekakan kita dari rasa takut akan penghukuman yang akan datang karena Yesus Kristus sendiri telah menanggung hukuman atas dosa-dosa kita. Kebenaran itu memerdekakan kita dari rasa cemas akan kehidupan masa depan sebab Yesus telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selamanya serta senantiasa jadi perantara kita. Dia telah menyelamatkan kita maka kita akan diselamatkan-Nya lagi.
Dia sanggup karena Dia berkuasa. Setelah Dia bangkit, segala kuasa di bumi dan di sorga ada di tangan-Nya (Mat 28:18). Itu berarti manusia yang telah ‘dirajai’ oleh Iblis semenjak Adam menyerah pada tipu dayanya dibebaskan oleh Kristus. Segala kuasa di bumi ada di tangan-Nya itu berarti Iblis telah dikalahkan. Kejahatannya telah dipatahkan kuasanya. Kegelapan disingkapkan oleh terang kebangkitan Kristus.

Sekarang ini yang terjadi adalah peperangan antara kebenaran Kristus yang menang dengan kepalsuan Iblis yang berusaha terus membuat manusia jatuh lagi ke dalam dosa. Peperangan ini telah dimenangkan oleh Kristus dan akan dimenangkan-Nya lagi. Bagi orang-orang percaya, kita telah lebih daripada pemenang karena kemenangan Kristuslah yang dianugerahkan pada kita (Rom 8:37).
Cara pandang ini akan membawa kita pada kehidupan berkemenangan. Tidak takut lagi pada si jahat dan digentarkan oleh kuasanya. Mereka telah kalah. Masakan kita akan menyerah pada roh-roh yang lemah itu dan yang telah dikalahkan? Bila mereka seakan-akan berkuasa maka kita tahu kuasanya itu terbatas dan tidak untuk selamanya. Itu penghiburan kita akan peperangan melawan kejahatan. Kejahatan telah dikalahkan oleh kebaikan Kristus dan akan dikalahkan lagi. Tinggal kita mau menjadi bagian yang mana? Mau jadi hamba kebenaran atau hamba kejahatan?

Septa Widodo Munadi, 
Ditulis pertama kali di Godong 30 Oktober 2010 selesai pk. 07.00
Dan disampaikan kembali dalam renungan di Kebaktian Doa di GKI Tegal
30 Oktober 2012 (pk.06.00 s.d. 06.40)


Lagu:  NKB 87 :1,3
       NKB 12 : 1-3


JUNJUNGAN YANG KUPILIh ( NKB 87)


1.        Junjungan yang kupilih, Yesusku Penebus.   Yang bangkit dari mati berkuasa seterus.
      Kendati banyak orang mengejek, mencela,   kuikut suaraNya lembut mesra.

Ref.
Benar, benarlah hidup Yesusku. Bersamaku di jalanku suaraNya kudengar
Benar, benarlah hidup Yesusku. Dimana Dia kudengar? Di dalam hatiku.

2.       Dimana, kapan saja kasihNyapun jelas. Di saat ‘ku gelisah dihiburku lekas.
      Di hujan, angin ribut, dipimpin langkahku’   ‘ku yakin, kami nanti ‘kan bertemu.

3.                   Menyanyilah umatNya, memuji Tuhanmu!
Nyanyikan Haleluya, agungkan Rajamu.
Harapan bagi orang yang mau mencariNya,
sebab Yesusmu hidup selamaNya.

o Tuhanku, ‘kau datang ke dunia (NKB 12)

1.                    O Tuhanku, ‘kau datang ke dunia, untuk menghapus dosa umatMu.
Bagai seekor rusa yang dahaga, padaMu, Tuhanku, merindu hatiku.
 
Ref.
Aku berserah, ya Tuhan, padaMu,
ku b’rikan bagiMu seluruh hidupku.
 
2.                   ‘Ku bersedih kar’na tekanan dosa dan jiwaku terkungkung dalam g’lap.
Kini berikan damai dan sentosa, tahirkan diriku dan dosa pun lenyap.
 
3.                   O Roh Kudus, berikanlah karunia, hancurkan kuasa setan dalamku.
Jadilah pandu dan terang s’lamanya dan bagi Tuhanku siapkan hatiku.
 
4.                   Bila kelak berakhirlah dunia, di sisiMu ‘ku akan berteduh.
Dan kini bak peronda yang berjaga, begitu jiwaku menanti datangMu.

Kelayakan untuk Melayani Tuhan




"Samuel belum mengenal Tuhan ; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya." (1 Sam 3:10)
Terlibat pelayanan tapi belum tentu mengenal Tuhan dengan baik. Aneh ini. Tinggal di Bait Allah tapi tak mengenal Tuhan.
Tapi itu nyata terjadi pada kebanyakan orang Kristen. Itupun terjadi pada diriku. Sudah 4 tahun, Tapi bukannya aku malah jadi dekat dengan Tuhan malahan aku makin jauh dari Tuhan. Kerohanianku jadi kering. Spiritualitasku hambar. Nilai persekutuan dalam hidupku hanyalah sebagai ilusi.
Tak lagi kubisa mendengar suaraNya yang lembut menuntunku.
Tak mampu aku mendapatkan pencerahan hikmatNya yang menghiburku.
Entahlah, apakah karena aku berada pada posisi dimana aku melihat kenyataan yang tidak semestinya aku saksikan. Sesuatu yang ideal adalah hal yang hanya meluncur di atas mimbar tapi menjadi barang yang langka di tanah tempat firman itu berpijak. Jabatan dan status menjadi jauh lebih penting daripada karunia Tuhan itu sendiri. Uang telah membutakan banyak orang sehingga orang pun dinilai keberadaannya sesuai uang yang ada padanya. Memang uang adalah penukar suatu nilai.  Tapi masalah terjadi apabila menilai orang dengan uang itu.
Yang beruang itulah yang dilayani lebih. Yang tak beruang dijadikan obyek penderita penerima 'kasih' yang wajib bagi mereka. Yang beruang dijadikan subyek pemberi kasih, sedangkan yang tak beruang dijadikan obyek kasih. Hubungan yang demikian terjalin lama dan seakan sudah urat-mengurat. Tak ada itikad untuk memutus mata rantai itu malahan seperti dibudayakan.
Bahkan seseorang layak atau tidak untuk melayani itu tergantung seberapa dekat ia dengan nilai uang itu. Kalau kaya atau paling tidak pengusaha atau memiliki jabatan pretisius pastilah jabatan untuk melayani adalah sebuah 'kelayakan' baginya. Tak peduli ia bisa atau tidak. Ia dikarunia atau tidak. Ia mau atau terpaksa. Itu bukan soal yang utama. Intinya dan menjadi senjata pengancam:"Kamu telah diberkati Tuhan maka kamu pun harus melayani Tuhan".
Sungguh mengerikan memang. Tapi itulah yang terjadi. Sukacita kebersamaan adalah sebuah ilusi yang dibikin yang akhirnya dirasakan hambar. Karena ditaruh diatas pondasi yang rapuh. Mudah terbakar. Mudah hancur. Ide, kreatifitas, kepemimpinan, kelembutan, kecakapan, kebisaan, petunjuk dan keputusan adalah milik yang empunya kebijakan. Bagi mereka yang diberikan wewenang tak memiliki kebebasan untuk mempersembahkan karunia yang dimiliki dengan maksimal. Semua itu ada dalam takaran dan standar yang sudah ditentukan. Jadi bagi barang siapa yang melampaui standar itu berarti siap-siap didepak atau tak digunakan lagi. Karena tidak mau tunduk pada 'aturan' baku yang telah ditetapkan oleh sang empunya.
Situasi yang telah menjadi sistem yang mengikat itu menjadikan tata nilai tak berlaku.Yang berlaku adalah suka atau tidak suka. Pas atau tidak.
Selama 4 tahun ini pulalah aku tidak mengambil bagian dalam satu pelayanan pun. Aku hanya berkutat pada pekerjaan rutinku. Berada dalam kepanitiaan adalah keniscayaan yang tak perlu diimpikan lagi. Karena sikapku yang vokal dan tak mau tinggal diam melihat ketidakberesan membuat hal itu sebuah ketidaknyamanan bagi empunya. Padahal aku pernah melayani di Sekolah Minggu dan Remaja. Pun aku pernah mengajar agama di sekolah. Dan pengalaman pelayanan itu pun tak membuat seorangpun memintaku untuk melayani. Tokh juga aku belum berniat karena melihat ketimpangan yang ada. Mungkin tahun depan. Aku mau coba masuk dalam pelayanan Sekolah Minggu untuk Tunas Remaja. Sebetulnya aku mau masuk kembali di dunia Remaja, tapi kurasakan ada "sekat' yang begitu tebal yang sulit bagiku ku tembus.
Hari-hari ini, biarlah menjadi persiapanku untuk masuk dalam pelayanan. Aku tak mau talenta yang Tuhan karunia kepadaku terpendam di tanah dan menjadi bau. Tak berguna.
Meski aku tahu itu tak mudah melihat kenyataan yang ada. Aku harus berani mengambil sikap. Sikap yang tak mau hanyut pada kekecewaan melihat kenyataan yang ada. Bagaimana pun dan dimana pun pasti ada halangan untuk kita jalani hidup yang Tuhan kehendaki. Tapi semua itu tergantung kita. Apakah kita mau hanyut dan tenggelam dalam kepahitan ataukah bangkit dan melangkah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi orang lain dan diri sendiri. Dan semua itu untuk kemuliaan Tuhan semata.

Kamis, 13 November 2014

Jangan Memandang Muka

 Aku banyak belajar banyak beberapa hari terakhir ini.
Kebiasaan tak serta merta sebagai hal yang biasa semata. Tapi itu hasil dari keputusan demi keputusan yang diambil. Meski keputusan itu seakan kecil tapi bisa berakibat besar.
Sikap sesorang bisa terlihat dari bagaimana ia mengambil keputusan. Menentukan ini boleh ada, yang itu tak boleh ada. Apakah yang ingin orang lihat dari keputusan demi keputusan itu akan mempengaruhi gambaran besar tentang siapa sebenarnya orang itu. Apakah orang akan melihatnya sebagai sosok yang baik-baik saja atau seorang pribadi yang apa adanya tanpa polesan atau pencitraan.

Kembali pada pembelajaran di atas. Memang mudah menyatakan kamu harus begini, kamu harus begitu. Tapi seringkali apa yang kita nyatakan itu dalam kenyataan sehari-hari bertolak-belakang. Tidak seperti adanya. Kita mudah mengajari orang untuk hidup mau peduli pada orang lain tapi kalau kenyataannya sendiri kita tak peduli atau tak mau memberikan waktu kita untuk peduli maka semua itu sama saja dengan omong kosong belaka.

Aku terhenyak ketika mendengar kesaksian seorang Ibu yang sudah 14 tahun hidup dalam kebersamaan di suatu komunitas tapi ternyata selama itu pula ia tak pernah dikunjungi ke rumahnya sekedar bertanya kabarnya. Kunjungan ke rumahnya ketika ada maksud untuk memberikan sesuatu kepadanya paling tidak 2 kali dalam setahun. Dia malah bertanya sebetulnya kapan saja ia seharusnya dikunjungi. Kalau Ibu itu bukan orang tak mampu dan "harus" mendapatkan "berkah" itu maka ia pun sama sekali tak akan dikunjungi. Tapi apakah "syarat"nya adalah karena kumpulan 'berkah' itu sebagai alasan?

Ah, aku melihat diriku sendiri. Aku pun berkunjung karena ada alasan. Ada sesuatu yang kubawa yang harus kusampaikan ke mereka. Aku tak pandai basa-basi ngobrol membuka pembicaraan. Mungkin pada orang-orang yang dekatku, barulah aku bisa ngobrol santai. Tapi bagi mereka yang mengharapkan sentuhan dari seseorang yang rohani tentu saja mereka mengharapkan sentuhan kejiwaan melalui lawatan. Itu artinya mereka dianggap berarti bukan karena mereka telah melakukan banyak hal atau karena mereka sebagai "obyek penerima berkah".

Ketika aku menilai orang lain tak mampu melawat, berarti juga aku pun sebetulnya juga tak mampu. Memang itu bukan pekerjaan mudah. Seringkali kita "melawat" orang yang berkecukupan atau mapan hidupnya. Kalau kita bersama mereka itu berarti pula status kita pun terangkat. Kalau cara pikir kita seperti itu maka apalah arti kasih Kristus yang kita kenal sebagai pendobrak batas yang memisahkan dua pihak. Yesus pun telah menghancurkan tembok itu, mengapa kita malah mendirikan tembok itu?

Kita bisa mudah mengajarkan kasih Kristus yang tak memandang muka tapi kalau kita sendiri memandang muka apalah artinya pengajaran kita itu?

Rabu, 01 Oktober 2014

Menjadi Penuai di Ladang Tuhan


Kemarin hampir seharian aku membuat selebaran untuk Malam Penyegaran Iman (MPI) Pos Jemaat Slawi. Baru selesai point-point pokok saja. Terpikir olehku selebaran itu perlu pengantar untuk bisa mengajak jemaat terdorong untuk datang dan merasakan panggilan sebagi penuai di ladang Tuhan.

Jemaat di Slawi cenderung stagnan. Kurang lebih 30 orang yang hadir dalam kebaktian. Kehidupan berjemaat di sana juga masih banyak tergantung dengan jemaat induknya di Tegal, meskipun sudah 25 tahun berjemaat.
Pagi ini, setelah membaca Kitab Injil Yohanes perikop tentang Nikodemus terus berlanjut tentang Yohanes Pembaptis dan terakhir perempuan Samaria, luar biasanya Tuhan membawa aku pada pengertian baru. Satu prinsip yang diperbolehkan bahkan diperintahkan oleh Tuhan Yesus sendiri kepada murid-muridNya.

 Sebelumnya Nikodemus adalah seorang tokoh agama Yahudi yang tentu saja punya pemahaman agama diatas rata-rata kebanyakan orang. Dia sudah punya dasar pemahaman tentang siapa itu Allah dan bagaimana mengenalNya. Namun, ketika Tuhan Yesus menanggapi pernyataannya tentang siapa yang dapat melihat kerajaan Allah seharusnya dia mendapat pengertian lebih lagi dari Tuhan Yesus. Tapi kayaknya dia tipikal orang yang sulit percaya. Tuhan Yesus harus menjabarkan panjang lebar tentang rencana / rancangan kasih Allah pada manusia berdosa.


Kemudian berlanjut pada kisah Yohanes Pembaptis dimana Yesus pernah dibaptis olehnya tapi ternyata Yesus  malah mendapatkan pengikut yang lebih banyak darinya. Saya menduga pun pengikut Yesus adalah mantan pengikut Yohanes Pembaptis, bahkan tercatat ada 2 muridNya adalah mantan pengikut Yohanes Pembaptis (Yoh 1 :35-51).

Dari dua kisah diatas, Yesus mendapatkan orang yang percaya kepadaNya dan mereka itu adalah orang-orang yang telah memiliki pemahaman tersendiri tentang agamanya. Yesus mengajak mereka lebih lagi mengenal-Nya berangkat dari pemahaman mereka terlebih dahulu barulah dibawa dalam pengertian dan pengenalan yang baru tentang Allah yang sebenarnya.


Hal itupun terjadi pada perempuan Samaria yang ditemuinya di tepi sumur Yakub. Yesus memperkenalkan diriNya pun berangkat dari pengenalan perempuan itu (mengapa penulis Kitab Injil Yohanes tidak mencatat namanya jadi saya tidak melulu menulisnya sebagai perempuan itu) tentang dirinya sendiri. Kehausan rohani / spiritualnya diungkapkannya pada Yesus nyata bagaimana dia sangat membutuhkan air hidup yang ditawarkan oleh Yesus. Bahkan berani jujur (setelah Tuhan Yesus menyatakan indentitasnya) tanpa menyangkal tapi mengakuinya. Dia mau buka hati untuk Sang Mesias. Dia pun tak berhenti menutupi sukacita itu dengan memberitakan Injil pada orang-orang sekampungnya. Meski itu menjadi satu tantangan tersendiri. Karena dia adalah seorang perempuan. Perempuan Samaria lagi. Ditambah indentitasnya yang pernah bersuamikan 5 orang dan yang sekarang itu bukan suaminya. Itu semua tak menghalanginya untuk memberitakan Injil Kristus. Akhirnya ia membawa orang-orang kampung kepada Yesus.

Inilah yang menjadi pokok perintah Yesus pada murid-muridNya pada waktu itu. Mereka diminta menjadi penuai bagi orang yang telah siap hatinya untuk menerima Tuhan. Mereka telah mengenal Tuhan Yesus terlebih dahulu kemudian mereka diminta mewartakan juga siapakah Yesus itu. Mereka hanya memetik hasil dari apa yang telah dikerjakan Tuhan Yesus sendiri dan perempuan Samaria itu. Mereka diminta melanjutkan pekerjaan Tuhan, menggembalakan mereka dan menjaga mereka tetap berpaut pada Tuhan.

 Satu hal yang menarik sebelum Tuhan Yesus memerintahkan :".... Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." (Yohanes 4 : 35 b). Ia terlebih dahulu memberikan pengantar:"Bukankan kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu...."
Ia seakan mau menegaskan: Jangan beralasan belum waktunya menuai, masih ada beberapa waktu lagi. Tuhan sendiri yang telah menabur dan orang lain pun dipakai Tuhan untuk menabur benih kepercayaan dalam diri orang-orang percaya.

Para murid diminta untuk menuai hasilnya itu dan menjadikan mereka umat Tuhan yang percaya dan mengenal Tuhannya. Prisnsip ini tentu saja bukan sebagai justifikasi untuk merebut domba-domba orang lain yang Tuhan telah percaya kepada mereka. Jangan samapi hal itu malah menjadi pertengkaran antar gereja.
Menilik kembali kota Tegal atau Slawi sebagai kota di Pantura dimana menjadi jalur perlintasan barang dan jasa yang utama di pulau Jawa. Tentu saja kota ini menjadi tempat transit atau pendatang bagi banyak pendatang dari luar kota. Banyak diantara mereka yang datang sudah mengenal Kristus dari tempat asalnya. Namun demikian, mereka pasti akan mencari-cari gereja-gereja mana yang tepat bagi diri mereka supaya bisa berjemaat. Banyak yang lebih mencari gereja yang sealiran dengan gereja asalnya. Tapi juga ada yang mencari suasana baru di gereja lain.

Semua itu menjadi peluang atau juga berarti perintah untuk tetap menjaga dan menerima mereka sebagai bagian dari persekutuan umat Tuhan. Tentu saja tugas panggilan sebagai penuai di ladang Tuhan Tuhan tidak hanya melulu atas orang-orang yang sudah percaya. Bagi mereka yang belum percaya tapi Tuhan telah membukakan hatinya untuk percaya (dengan segala cara: lewat satu peristiwa, mendengar kesaksian tentang Kristus, mendengarkan lagu pujian, dll) adalah menjadi tugas kita untuk lebih mengenalkan siapa sebenarnya Kristus Yesus itu.
Siapkah kita jadi penuai di ladang Tuhan?


Kamis, 14 Agustus 2014

Misteri Doa


Masih perlukah orang berdoa?
Kalau kita yakin apa yang diinginkan pasti tercapai, apakah kita akan tertunduk berlutut dalam penyerahan untuk berdoa?
Mengutip pernyataan Philip Yancey, masihkah ada rasa "greget" orang yang berdoa "Bapa kami, ....berikankanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya", bagi orang yang di dapurnya telah tersedia makanan yang cukup banyak bahkan untuk sebulan?
Masihkah orang yang penuh talenta dan bakat kemampuan dengan segala prestasi serta pengalaman membanggakan akan tertunduk pada Tuhan dalam penyerahan memohon bimbingan dan penyertaan untuk mencapai apa yang dicita-citakannya?

Terlalu sering orang menganggap doa sebagai bagian dari kegentingan. Bahkan sesuatu yang memaksa. Sesuatu yang harus dilakukan, dan hanya jika keadaan sudah tersudut dan tidak ada pertolongan lagi barulah tangan melipat, kepala tertunduk mohon pertolongan dalam doa pada Tuhannya. Bahkan ketika pun tidak mampu berdoa, seringkali yang dilakukan menelepon sahabat, tulis sms ke teman atau yang ekstrim menulis status di facebook, BB, twitter untuk didoakan akan pergumulan yang dihadapi. Hmm... mungkin dipikir Tuhan punya akun sendiri yang akan lihat dan memantau status-status doa anak-anak-Nya.

Doa adalah misteri. Semisteri kita mengetahui ujung jalan ketika kita melangkah di jalan yang gelap. Apakah ujung jalan itu jalan buntu, jurang atau gerbang kota yang cemerlang.
Doa adalah dialog. Komunikasi 2 arah. Kita bertanya, Tuhan menjawab. Kita memohon, Tuhan memberi. Tuhan memberi perintah, kita taat. Tuhan menginspirasi, kita mengamini.
Doa adalah hubungan yang subyektif. Satu orang merasa yakin Tuhan menjawabnya, yang lain tidak yakin malah merasa Tuhan begitu jauh. Yang satu merasa ada kedamaian setelah berdoa, yang lain masih bimbang dan terus berdoa dengan doa yang sama.
Doa bukanlah rangkaian kata-kata mantera yang mujarab untuk suatu usaha atau obat bagi yang sakit. Doa adalah aliran hati yang sedih atau gembira, marah atau senang. Kita menyatakannya pada Tuhan, Bapa yang kita kenal dan mengenal kita apa adanya.
02swm15082014

Jumat, 03 Januari 2014

Immortal


Ngeri, sadis, tak berbelas kasihan...
begitu kesan yang kudapat setelah melihat Film "Immortal" - film tentang dewa-dewa orang Yunani.
Tokoh utamanya Tertuleus. Pemuda desa biasa yang akhirnya jadi pemimpin prajurit melawan keangkuhan seorang raja yang ingin membebaskan Titans -para dewa yang jahat- yang terkurung dalam sebuah gunung dengan menggunakan sebuah busur.
Satu hal yang menarik, para dewa baik yang dipimpin Zeus begitu memegang teguh hukum (entah hukum apa itu) dimana para dewa tidak boleh berurusan atau campur tangan dengan urusan manusia. Manusia telah diberikan kehendak bebas untuk memilih berada dalam kebaikan atau kejahatan. Zeus pun hanya 'berinkarnasi' menjadi seorang guru tua yang mengajarkan Tertuleus itu menjadi pemuda yang tangguh yang nantinya akan melawan raja yang lalim itu. Dia tidak melibatkan diri berada di pihak manusia untuk melawan kejahatan. Baginya peperangannya adalah hanya melawan Titans yang terkurung itu.
Sampai satu saat Titans itu dibebaskan dari kurungan oleh raja yang lalim itu setelah mendapatkan busur Ephirus.

Rasul Paulus, pernah menulis ke jemaat di Korintus:"Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan." (1 Kor 1:22-23).
Kota Korintus ada di Yunani, tentu tahu dengan segala mitos seperti film "Immortal". Filsafat Yunani yang begitu kuat memenuhi pikiran orang-orang Yunani dimana para dewa digambarkan sebagai suatu sosok yang jauh diatas kehidupan manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia dan ditakuti sehingga pemujaan bagi mereka dinyatakan dalam banyaknya kuil-kuil untuk menjaga agar mereka tidak murka terhadap manusia dengan segala ritual-ritualnya. Para dewa digambarkan seperti penonton yang melihat panggung dunia dengan segala hiruk-pikuknya. Sepertinya mereka memegang teguh hukum dimana para dewa tidak boleh campur tangan urusan manusia. Keterlibatan mereka hanya sewaktu-waktu kalau mereka menginginkannya dengan suatu kejadian yang spektakuler. Tiba-tiba terjadi tsunami dari laut yang menggulingkan kapal yang berisi tentara untuk menyelamatkan manusia yang dilindunginya.

Tampilan para dewa pun digambarkan seperti prajurit perang yang siap membunuh siapa saja yang melawan kehendak mereka. Sosok yang perkasa yang penuh dengan kekuatan untuk menghancurkan musuh.
Pribadi yang digambarkan sebagai para dewa itu tentu saja tercermin sebagai perwujudan iman mereka (orang Yunani) bahwa yang perkasa, tangguh dan tak takut menyerah adalah pribadi yang besar. Yang tentunya dipastikan menang atas apa saja. Pertumpahan darah, kesadisan dan tekanan bagi yang lemah adalah bagian tak terpisahkan dari kekuatan yang perkasa. Untuk menjaga yang lemah diperlukan sosok yang perkasa juga. Keperkasaan dihadapi dengan keperkasaan. Kekuatan dilawan dengan kekuatan. Tidak ada tempat bagi orang lemah dalam peperangan.

Itulah kenapa, Rasul Paulus mengatakan sebagai suatu kebodohan ketika ia mengajarkan tentang Kristus yang disalibkan. Sang Pembebas yang lemah oleh kuasa manusia. Satu hal yang bertolak belakang dengan pemahaman filsafat Yunani yang memuja keperkasaan dan bukan kelemahan. "Suatu Kebodohan" demikian kata mereka. Bagaimana mungkin Seseorang yang tersalib, yang tidak sanggup membebaskan diri dari penyaliban atas diriNya bisa dikatakan menjadi Kristus, Mesias, Sang Pembebas manusia? Hanya orang bodoh yang mempercayai hal itu...

Namun demikian, dalam tulisan kepada jemaat Korintus, dia berbicara begitu lantang kalau apa yang diberitakan adalah Injil Kristus tentang Sang Penyelamat yang disalibkan. Dia pun menantang para filsuf, para cendikiawan, orang-orang berhikmat yang mengajarkan bahwa keperkasaan adalah satu ukuran utama untuk bisa menang. Bagaimana mungkin Seorang yang lemah, yang bisa disalibkan dapat menyelamatkan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja Dia tidak sanggup bagaimana bisa menyelamatkan orang lain. Itulah pemikiran orang-orang Yunani, dan bisa jadi pemikiran orang-orang duniawi saat ini. Bagi Rasul Paulus, malah dengan kerelaanNya yang mau disalibkan karena kesadisan manusia yang ingin tetap berkuasa, menunjukkan keberanianNya menanggung apa yang dibelaNya. Dia membela kebenaran dan karena kebenaranNya itulah orang-orang yang merasa terusik dengan kebenaranNya ingin membungkamNya dengan menyalibkanNya. Mereka berpikir dengan penyalibanNya itu, akan menghentikan kebenaran bahwa Ia adalah Anak Allah Yang Hidup.

Kebenaran tetaplah kebenaran yang akan terus tegak berdiri meskipun manusia dengan segala upaya membungkamnya. Dia akan tetap hidup meskipun manusia berusaha mematikannya. Dalam penyalibanNya itu pula, Kristus yang diberitakan oleh Rasul Paulus, adalah Kristus yang  tetap terpaku di atas kayu salib yang tidak melakukan pembalasan terhadap mereka yang menyalibkanNya tapi malah mendoakan mereka.
Kasih karunia inilah yang tentu saja tidak dimengerti oleh orang-orang Yunani dimana mitos mereka mengajarkan bahwa untuk bisa menjalankan kehendak para dewa terutama Zeus, mereka mengutus Hercules, manusia setengah dewa, yang begitu perkasa yang tak terkalahkan, dengan kekuatan yang begitu besar. Yesus, meskipun dengan segala kuasa yang ada dalamNya, yang ditunjukkan dengan segala mukjijat seperti menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, meredakan badai dan masih banyak lagi namun tak memakai kuasaNya itu untuk menghancurkan orang-orang berdosa yang berusaha menyalibkanNya tapi malahan mengasihi mereka yang berbuat jahat tersebut dengan mendoakan mereka.
"Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."

Kasih karunia yang melampaui segala akal. Yang tidak terpikirkan bahkan direnungkan oleh manusia-manusia berdosa. Manusia berdosa yang telah jatuh dalam kegelapan hanya tahu bahwa segala sesuatu yang menimpanya itu haruslah dibalas setimpal dengan apa yang menimpanya. Bila kesakitan yang diterimanya ia akan membalas dengan menyakiti orang lain juga untuk merasakan kesakitannya. Bila pelecehan yang diterimanya maka ia pun akan berusaha merendahkan sebanyak mungkin orang di bawah kekuasaannya untuk menunjukkan betapa dia pernah direndahkan dulu. Bila penderitaan yang diterimanya maka ia akan berusaha untuk menekan, menindas dan memaksa orang lain melakukan apa yang dia inginkan agar mereka pun harus tahu akan penderitaan yang pernah ia terima itu. Karena pemikiran orang berdosa, "para dewa" atau allah bagi mereka itu begitu jauh, tak merasakan apa yang mereka rasakan. Bahwa manusia harus memperjuangkan sendiri nasibnya. Para dewa tidak campur tangan.
Bahkan ada pendapat yang seakan lebih lembut tapi sama saja"Tuhan tidak akan menolong umatNya kalau umat itu tidak menolong diri mereka sendiri". Tuhan jauh disana dan manusia dibiarkan bergelut dengan segala permasalahannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan. Demikian pemikiran mereka.

Sungguh ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Kristus yang disalibkan itu. Dia berada di tengah-tengah manusia berdosa. Menjadi bagian di antara mereka meskipun tidak berdosa. Dia adalah Allah Yang MahaTinggi yang mau turun menjadi manusia, bukan sekedar menunjukkan keperkasaanNya semata, tapi lebih lagi mengasihi manusia yang tidak sanggup melepaskan diri dari jerat dosa. Dia mau merasakan kesakitan, pelecehan, dan penderitaan manusia. Dia disesah. Dia dimaki. Namun tidak membalas. KekuatanNya terletak bagaimana Ia menahan diri sedemikian besarnya untuk menunjukkan betapa besar kasihNya kepada manusia.

Ia sanggup memunahkan manusia dengan hembusan nafasNya saja dan menjadi umat manusia baru yang taat kepadaNya. Tapi sungguh jalan salib itulah yang dipilihNya untuk menyelamatkan manusia. Mengapa menyelamatkan? Karena jalan itulah manusia mengenal belas kasihan Allah. Yang mana manusia diajak untuk menunjukkan belas kasihan itu pula kepada sesama. Belas kasihan itulah yang menggerakkan manusia untuk saling mengasihi sebagai sesama. Belas kasihan itu pula kekuatan untuk tetap mengasihi orang-orang yang berlaku jahat kepada kita. Bukan malah membalas perlakuan mereka. Karena balas dendam itu tidak akan pernah berakhir dan tidak pernah akan memuaskan. Darah tertumpah akan dibalas dengan darah tertumpah. Demikian terus. Tidak terpuaskan.

Darah Kristus telah tertumpah, dan cukup sekali untuk selamanya supaya tidak ada lagi pertumpahan darah untuk kesewenang-wenangan manusia berdosa untuk membalas dendam. Balas dendam itu terhenti dengan memandang salib Kristus. Dia yang berkuasa tapi mau menerima pembalasan atas dosa-dosa kita. Dia yang mulia tapi mau direndahkan. Ini memang bagi orang-orang Yunani (yang mengagungkan keperkasaan) adalah sebuah kebodohan. Tapi bukankah malah sebuah kebodohan kalau manusia yang telah dimuliakan oleh Kristus mau membalas dendam atas perlakuan yang menimpa dirinya? Bukankah Kristus datang untuk manusia yang hina oleh dosa untuk dimuliakan? Bukankan Kristus mati supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa oleh maut tapi diselamatkan olehNya karena Dia pun telah dibangkitkan oleh Allah karena kebenaranNyalah yang menang atas orang-orang berdosa yang menyalibkanNya? Dia tidak untuk selama-lamanya terpaku disalibkan namun bangkit dari orang mati sebagai pemenang dan meneguhkkan kebenaran bahwa Ia adalah Anak Allah yang bangkit.

Sungguh benar hikmat Allah ini tersembunyi bagi mereka yang tidak percaya bahkan menolak pengabaran Injil Kristus yang disalibkan. Hanya oleh Roh Allah, orang dapat mengerti penyelamatan yang dikerjakan oleh Kristus itu. Semua akan disingkapkan. Selubung akan dibuka. Menjadi terang ilahi yang memancar menerangi hati yang telah dibutakan oleh balas dendam. Kasih yang menyelamatkan. Bukan upaya untuk menundukan orang lain untuk menerima pengajaran agama dengan kekerasan, perang, dan pengemboman bunuh diri. Seakan-akan orang yang mampu menebar teror itu akan bisa mengubah mindside / cara pandang orang dengan ketakutan. Apakah dengan takut orang akan menjadi percaya? Percaya bahwa yang benar itu yang berkuasa, yang kuat, yang pintar dll yang menunjukkan kelebihan manusia akan menang? Tidak. Dengan salib Kristus, Tuhan mau menyatakan cinta kasih Allahlah yang mengubah hati manusia menjadi manusia yang lemah lembut yang mengasihi sesamanya. Dengan memenangkan hati manusia yang keras menjadi lembut. Hati yang pendendam menjadi penuh belas kasihan. Bengis dengan cinta. Nafsu dengan pengendalian diri. Angkara murka dengan damai sejahtera.

Bukankah semua itu indah kedengarannya? Maukah kita mau menerima Kristus yang disalibkan?




Ads Inside Post